Rabu 08 Nov 2017 14:15 WIB

Jejak Kota Pencakar Langit Kuno di Yaman

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agung Sasongko
Shibam
Foto: http://whc.unesco.org
Shibam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dikelilingi dinding benteng, Kota Shibam di Yaman yang berdiri pada abad ke-16 merupakan salah satu kota tertua di dunia sekaligus contoh terbaik tata kota urban berbasis konstruksi vertikal.

Shibam punya rupa-rupa sebutan, antara lain, Shibam Yafer. Nama ini tersemat karena pa da 225-393 Hijriyah, kota ini lekat dengan keturunan para pemimpin Yefer yang bermukim di sana. Selain kastil, masjid, pemandian bangsa Turki (hamam), dan berbagai fasilitas lain, keluarga Yefer juga mendirikan barakbarak dan Masjid Jami' yang masih ada sampai sekarang. S

elain Shibam Yefer, Shibam juga pernah disebut sebagai Shibam Alfian, Shibam Himyar, dan Shibam Tahbus. Nama-nama itu diambil dari kerajaan yang berkuasa dan berdiam di Shibam pada masanya.

Orang Barat yang pertama kali menjelajahi kota ini adalah seorang Inggris, Freya Stark. Dari penjelajahan Stark di Shibam pada 1930- anlah lahir sebutan "Manhattan of the Desert" bagi Shibam. Sedangkan, banyaknya gedung menjulang tinggi di kota ini menjadikan Shibam dijuluki pula "Kota Pencakar Langit Kuno."

Kota ini bertengger di titik tertinggi gurun, tapi tetap dekat dengan sumber air utama. Dari ke tinggian, lanskap kota ini berbentuk persegi. Dinding kota setinggi tujuh meter mengelilingi Shibam dan hanya ada satu gerbang sebagai akes keluar masuk. Jalan-jalan di dalam kota pada umumnya kecil dan berkelok.

Terletak di jalur perdagangan rempah Se me nanjung Arab Selatan, tepatnya di lereng bu kit Wadi Hadramaut, berdiri hunian-hunian ver tikal hingga tujuh lantai lengkap dengan benteng, jalan-jalan, dan alun-alun. Bangunan dari bata kering jemur matahari itu bisa ratusan meter tingginya. Sayang, sebagian bangunan lama itu rusak tersapu banjir besar pada 1532- 1533.

Bangunan rumah dibangun vertikal agar penghuninya bisa mengintai musuh dari ke jauhan. Bagian dasar bangunan sendiri dipakai se bagai lumbung dan stok bahan pangan. Dinding rumah terbuat dari bata berbahan tanah liat yang dikeringkan sinar matahari.

Jendelanya terbuat dari kayu dengan ukiran-ukiran geometris, lengkap dengan daun jendela sehing ga penghuninya leluasa membuka tutup venti lasi sesuai musim. Biasanya jendela rumah akan terus dibuka selama musim panas agar udara pa nas dalam rumah bisa mengalir ke luar.

Sebaliknya, pada musim dingin, jendela-jendela ditutup sehingga aliran udara hangat berputar merata dalam bangunan rumah. Suhu udara di dalam rumah saat musim panas dan dingin relatif sama. Masjid Jami' di kota ini didirikan pada abad ke sembilan atau ke-10 M dan kastilnya berdiri pada abad ke-13. Sementara permukiman ber diri sebelum era Islam. Kota ini jadi ibu kota Ha dramaut setelah ibu kota sebelumnya, Shab wa, rusak pada 300 SM.

Pada akhir abad ke-19 M, para pedagang yang pulang dari perniagaan di Asia membangun ulang kota ini. Sejak itulah, pembangunan kota ini berkembang hingga ke tepi dan sebe rang sungai di selatan kota dan terbentuklah ka wasan suburban baru bernama al-Sahil. Padatnya Shibam dengan bangunan men julang serta benteng yang mengelilingi kom pleks permukiman mengindikasikan kebutuh an warga akan keamanan atas ancaman lawan. Selain tentunya juga karena kebutuhan ekonomi dan prestise politik.

Kota tua Shibam dan penataannya di Wadi Hadramaut sebenarnya jadi contoh bagus pena taan permukiman warga, efektivitas penggu na an lahan, dan tata kota. Arsitektur domestik Shibam dengan hasil visual yang baik, desain fung sional, material, dan teknik konstruksi se benarnya sangat memukau, tapi juga menun juk kan kerapuhan.

Karakter defensif Shibam yang terlihat pada padatnya permukiman vertikal dengan fondasi yang kurang kokoh menunjukkan kompetisi yang amat kuat antarkeluarga. Sementara, ma syarakat yang hampir homogen secara tradisi mem buat perubahan sosial dan ekonomi jadi ancaman.

Berlokasi di antara dua gunung dan tepian sungai besar serta terpisah jauh dari permu kim an urban lainnya, Shibam dan penataannya menunjukkan bukti komprehensif masyarakat tradisional yang mengadaptasi lingkungan pertanian yang penuh ketidakpastian. Hal itu rentan bagi perubahan sosial dan ekonomi serta ancaman banjir yang rutin terjadi.

Terlindung oleh dinding di sekeliling, ham pir semua elemen fisik kota ini tidak banyak mengalami kerusakan dan tetap terjaga baik. Begitu pula oasis, fungsinya masih kuat melekat dengan keseluruhan unsur kota dan laik di lindungi. Sarana publik pun secara visual masih nampak terintegrasi, meski secara tak langsung terancam oleh bangunan-bangunan baru dan struktur lain di sekitarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement