Rabu 08 Nov 2017 15:56 WIB

Legislator PPP Kecewa Aliran Kepercayaan Masuk Kolom Agama KTP

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Anggota Pansus Pemilu dari Fraksi PPP Achmad Baidowi.
Foto: antara/sigid kurniawan
Anggota Pansus Pemilu dari Fraksi PPP Achmad Baidowi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PPP Achmad Baidowi menilai akan semakin banyak jumlah pengikut aliran kepercayaan yang menyebutkan identitasnya. Hal tersebut menurutnya merupakan dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi hak bagi penganut kepercayaan mengisi kolom agama dalam Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

"Putusan MK itu mengagetkan, tapi itu sudah menjadi putusan yang harus dilaksanakan, yang jelas nanti jumlah pengikut aliran kepercayaan semakin banyak menyebutkan di identitasnya," ujar Baidowi kepada wartawan pada Rabu (8/11).

Ia juga mengaku khawatir putusan tersebut bisa disalahgunakan oleh pemeluk agama untuk menghindari kewajiban ajaran agama, dimana pemeluk dapat berdalih dan berlindung dengan identitas aliran kepercayaan. Namun, meski mengaku kecewa atas putusan MK tersebut, namun Baidowi tetap menghormati keputusan tersebut.

Menurutnya, pasca putusan juga tentunya akan ditindaklanjuti dengan revisi Undang-undang dalam hal ini Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).

"Meskipun kecewa tapi putusan MK sifatnya final dan mengikat. Setiap ada putusan MK terkait PUU memang harus ditindaklanjuti dengan revisi UU," ujarnya.

Kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata 'agama' yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk 'kepercayaan'.

"Majelis hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Hakim MK Arief Hidayat ketika membacakan putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11).

Arief melanjutkan, majelis hakim menyatakan kata 'agama' dalam pasal 61 Ayat (1) serta pasal 64 ayat (1) UU No. 23/2006 tentang Adminduk bertentangan dengan UUD'45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan".

Majelis hakim juga menyatakan pasal 61 ayat (2) dan 64 ayat (5) bertentangan dengan UUD'45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Uji materi terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh empat orang pemohon. Mereka adalah Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim.

Dalam alasan permohonannya, menurut mereka, pasal-pasal itu bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Itu karena dalam rumusannya tertulis, Kartu Keluarga (KK) dan KTP-el memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan.

Menurut mereka, ketentuan pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan itu telah menyebabkan terlanggarnya hak-hak dasar penganut kepercayaan. Hal itu juga membuat panganut kepecayaan tidak bisa mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar lainnya, seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial beserta dengan seluruh layanannya. Mereka juga menganggap hal itu sebagai bentuk diskriminasi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement