REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah kitab yang ditulis oleh seorang pakar sejarah berkebangsaan Irak, Korkes Awwad, membuktikan hal itu. Ia menulis sebuah ensiklopedia perang yang terjadi selama masa kejayaan Islam. Buku dengan judul Mashadir at-Turats al-Askari 'Indal Arab itu mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan peperangan, seperti kemiliteran, peristiwa perang, hukum perang dan jihad, jenis senjata yang digunakan, transportasi perang seperti perahu dan kendaraan darat, serta istilah-istilah khas dalam peperangan.
Menurutya, jihad yang paling utama ialah mengorbankan harta dan nyawa. Ketika dua hal itu menjadi perkara yang dikorbankan maka Allah menempatkan siapa pun yang melakukannya di martabat orang-orang yang paling taat.
Ini karena pengorbanan mereka sangat mulia yaitu mengusir kekufuran dan pengikutnya, serta menjaga agama Islam sekaligus nyawa penganutnya. Perintah berjihad dengan harta dan nyawa itu tertuang dalam ayat ke-41dari surah at-Taubah.
Jihad, menurut dia, adalah seruan yang wajib dikumandangkan saat musuh menyerang. Bila seseorang didapati telah berjuang di jalan Allah denga jiwa raganya, lalu menyerukan orang lain untuk bergabung, maka ia berhak atas dua pahala sekaligus, yaitu pahala berjihad dan pahala mengajak berbuat kebaikan.
Dan, seruan berjihad kepada segenap umat dalam kondisi ini adalah ajaran penting agama. Allah SWT berfirman, Maka berperanglah kamu di jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). (QS an-Nisa [4]: 84)
Selain mengutarakan seruan dan keutamaan berjihad, Izzuddin menulis bahwa jihad melawan musuh harus dilakukan dengan niat yang ikhlas. Para tentara harus dipersiapkan dengan baik. Persiapan yang dimaksud menyangkut kesiapan mental prajurit dan ketersediaan alat, tranportasi, dan logistik selama berperang.
Dan, pimpinan tertinggi dianjurkan menyampaikan tausiyah mereka kepada para tentara sebelum mereka berangkat menuju medan peperangan. Pesan yang disampaikan itu merupakan bentuk aplikasi amar makruf nahi mungkar. Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasullullah. Dalam wasiatnya tersebut, Rasulullah mengajak agar berperang atas nama Allah, memerangi mereka yang kufur terhadap Nya.
Dan tak kalah penting, di antara wasiat Rasulullah yaitu memberi peringatan kepada serdadu agar tidak membabi buta selama berperang, tidak berkhianat, menghancurkan tempat ibadah, merusak pepohonan, dan tidak membunuh anak-anak serta mereka yang uzur, seperti wanita atau para lansia.
Ketika berperang, kata penulis kitab Ahkam al-Jihad ini, penggunaan lafal takbir diperbolehkan. Mengucapkan takbir saat berperang menujukkan kebesaran Allah atas keyakinan orang kafir terhadap Sang Pencipta. Ketika perang Khaibar berlangsung, Rasulullah mengumandangkan lafal, Allahu Akbar, takluklah Khaibar, ketika kami telah turun di pelataran suatu kaum maka ini bertanda buruk bagi para musuh.
Sedangkan waktu yang tepat mengawali berperang ialah pagi menjelang siang. Bila kondisi tidak memungkinkan maka bisa ditunda sampai tepat pada waktu siang. Waktu ini dipilih karena lebih mendukung, tidak terlalu panas, dan daya tubuh masih cukup baik. Seni berperang yang efektif ialah dengan menarget anggota tubuh yang dianggap vital, yaitu leher dan lengan. Jika kedua anggota itu tercederai maka besar kemungkinan lawan akan lumpuh.
Hal yang lazim dihindari selama masa perang ialah berbeda pendapat dan saling berselisih. Perpecahan di barisan tentara akan mengancam soliditas dan kekuatan. Bahkan bisa memporakporandakan satu sama lain. Allah Swt berfirman, Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS al-Anfaal [8]: 46).