REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fikar Hajar menilai tindakan penyidik Polri terhadap dua pimpinan KPK terbilang aneh. Bahkan Polri dipandang reaktif dengan menerbitkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) tersebut.
"Jika kepolisian bertindak reaktif seperti ini pasti masyarakat bertanya-tanya ada apa ini pimpinan lembaga pemberantasan korupsi tiba-tiba dijadikan tersangka (SPDP)," ujar Fikar saat dihubungi Republika di Jakarta, Jumat (10/11).
Fikar menilai apa yang dilakukan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang adalah atas nama lembaga bukan perorangan. Tindakan keduanya pun didasarkan atas kewenangan atributif yang diberikan oleh UU.
Sehingga menurutnya justru aneh ketika Polisi menerbitkan SPDP itu kepada kedua pimpinan KPK. Padahal yang dilakukan keduanya atas nama lembaga bukan karena tersandung kasus korupsi dan sebagainya.
Misalnya, terang Fikar, dalam penyelesaian suatu kasus ternyata Agus maupun Saut tertangkap tangan melakukan perbuatan pidana. Maka jika yang terjadi demikian, dalam kacamatanya membenarkan apabila polisi segera menerbitkan SPDP.
Namun sambung Fikar, kenyataannya tidak seperti itu. Kedua pimpinan KPK tersebut hanya menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga anti rasuah. "Yang mengherankan justru para pimpinan KPK sedang melaksanakan tugasnya," ujar Fikar.
Fikar mengingatkan, agar polisi bertindak lebih hati-hati. Jangan sampai wewenangnya justru digunakan sebagai alat oleh seseorang untuk menjerat seseorang lainnya. "Polisi seharusnya bertindak hati-hati, jangan sampai terkesan digunakan sebagai alat seseorang atau kekuasaan," ungkap Fikar.
Terakhir dia juga menambahkan, agar Presiden dapat turun tangan. Dengan harapan hukum di Indonesia l tidak lagi semrawut dan terkesan dikuasai atas kepentingan seseorang saja. "Presiden harus turun tangan agar pakem penegakan hukum di Indonesia tidak terkesan semrawut cuma karena kepentingan orang per orang saja," tegasnya.