REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Febrianto Adi Saputro/Jurnalis Republika
Bangunan empat lantai berbentuk persegi panjang membentang di atas lahan seluas lebih dari 6.000 meter persegi. Bangunan yang didominasi warna putih dengan sedikit warna merah tersebut terlihat mentereng menyerupai apartemen. Warga sekitar menyebutnya Rusunawa Cibodas, sebagian lagi menyebut bangunan tersebut dengan Rusunawa Betet. Asal-usul nama Betet tersebut diketahui berasal dari lokasi rusunawa yang terletak di Jalan Betet, Kampung Mekarsari, Kelurahan Panunggangan Barat, Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang.
Kepala Bidang (Kabid) Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Tangerang Widi Hastuti menjelaskan, Rusunawa Betet nantinya diperuntukkan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Rencananya 30 persen dari kapasitas rusunawa tersebut juga akan dihuni oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Golongan I yang belum memiliki rumah. "Ya kemarin sih ada permintaan sebagian untuk PNS, tapi kan kita juga harus pilah-pilah dulu ya yang golongan I tuh siapa yang belum punya rumah. Kita juga ada kerja sama dengan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) untuk minta data golongan I yang belum punya rumah dan berminat untuk tinggal di rusun. Tapi itu kan ada mekanisme seleksi juga untuk PNS itu terbatas paling 30 persen nya saja," kata Widi kepada Republika, belum lama ini.
Pembangunan Rusunawa Betet yang dikerjakan oleh PT Brantas Abi praya dimulai pada akhir Juni 2016 dan baru selesai pada pertengahan tahun 2017. Widi memaparkan, pembangunannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Kita sih cuma diminta siapin tempat saja," tutur Widi.
Saat ditanya mengapa wilayah Kampung Mekarsari yang dipilih, menurut dia, hal itu berdasarkan usulan Wali Kota Tangerang, Arief R Wismansyah. "Pak Wali sih maunya bangun banyak, tapi kalau saat ini lahan yang available di situ," ujarnya.
Dikutip dari situs resmi Pemerintah Kota Tangerang, Rusunawa Betet dibangun di atas lahan seluas 6.077 m2 yang berdiri di atas tanah milik Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang. Rusunawa Betet memiliki 50 unit kamar dengan tipe 36 meter persegi (m2). Dilengkapi dua kamar tidur, dapur, ruang tengah, tempat untuk menjemur, serta sistem pemadam kebakaran guna meningkatkan keselamatan bagi penghuninya nanti.
Ketua RW 06, Kelurahan Panunggangan Barat, Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang, Margono, mengatakan, lahan yang dipakai rusunawa tersebut tadinya adalah permukiman 17 kepala keluarga (KK) warga RT 02 RW 06, Panunggangan Barat, Cibodas, Kota Tangerang. "Cuma kemarin kita diminta yang diprioritaskan (tempati rusunawa tersebut) yang kena gusur dulu, itu kan ada 17 KK," kata Margono, belum lama ini.
Kini, rencana penggusuran menyasar ke lahan lain di sekitar rusunawa. Terdapat ratusan KK di RT 04 RW 06–atau akrab disebut warga Kampung Bawah–yang was was akan bernasib serupa seperti yang dialami sebagian warga RT 02 RW 06 yang sudah lebih dulu digusur dan kini dijadikan rusunawa.
Adalah Aminah (40 tahun), warga Kampung Bawah, Mekarsari, Panunggangan Barat, Cibodas, Kota Tangerang, yang mengaku telah menghuni tanah tersebut sejak 1980-an. "Dulu ini rawa, jadi warga yang ngerukin. Kan saya yang dari awal di sini, jadi ini masih empang," kata Aminah saat ditemui Republika, bulan lalu.
Aminah menuturkan, sekitar tahun 1979 ayahnya sehabis shalat Subuh rutin mencari kayu bakar menggunakan gerobak. Setelah mem peroleh kayu bakar dan ma kan, ayahnya selalu ke empang untuk membabat rumput. "Dulu kan di sini bekas rawa, rumput juga tinggi-tinggi. Wah itu ular yang belang-belang banyak," kata Aminah berkisah.
Tidak hanya Aminah, hal yang sama juga diungkapkan Sukama, warga Kampung Bawah yang sejak tahun 1980 menempati tanah tersebut. Sukama berusaha mengilas balik ingatannya ketika ia pertama kali menempati tanah yang juga diakui milik PT Bina Sarana Mekar tersebut. "Masih rawa, teman saya pada mati digigit ular, sekarang sih tananhnya masih bisa diinjak, dulu enggak bisa diinjak," tutur mantan sopir taksi tersebut.
Baik Aminah maupun Sukama, keduanya memilih bertahan di tanah yang sudah mereka tempati lebih dari 30 tahun daripada harus angkat kaki sembari gigit jari. Warga menolak jika nantinya mereka digusur tanpa adanya ganti rugi. Rencananya di tanah yang di tempati ratusan KK tersebut akan dibangun puskesmas rawat inap Panunggangan Barat dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Panunggangan Barat. Proses pem bangunan puskesmas sampai akhir bulan lalu mencapai lebih 40 per sen. Baru pada 2018 pembangunan SMPN Panuggangan Barat rencananya dimulai.
Usai dilayangkannya Surat Peringatan I oleh Satuan Polisi Pa mong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang, kini beberapa bangunan terlihat luluh lantak. Sampah-sampah bekas seng yang berkarat, busa kasur, dan botol-botol beling bekas juga terlihat berserakan di sekitar lokasi. Kondisi tersebut terlihat kontras dengan rusunawa yang belum berpenghuni.
Kini, masyarakat hanya menginginkan kejelasan status tanah tersebut. Warga juga berharap pemerintah memberikan ganti rugi dan memikirkan nasib mereka setelah rumah mereka digusur. "Harapannya kami bisa dipindahkan ke tempat yang lebih baik dari ini, jangan sampai ke tempat yang lebih buruk," harap Aminah.
Campur Tangan Pengembang
Warga Kampung Bawah memilih bertahan meski pun sudah beberapa kali menerima surat peringatan dari Satpol PP. Rencana Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah menggusur bangunan di sebagian wilayah RT 02 RW 06 dan RT 04 RW 06, Kelurahan Panunggangan Barat, Kecamatan Cibodas, Kota Tangerang, mendapat penolakan warga.
Warga yang telah mendiami lahan tersebut selama puluhan tahun memilih bertahan karena sebelumnya juga ada pengembang yang mengklaim memiliki lahan tersebut dan ingin menggusur warga tetapi gagal. Jauh sebelum rencana Pemkot Tangerang ingin menggusur Kampung Bawah, pengembang Palem Semi yang berada tidak jauh dari lokasi penggusuran sudah lama mengincar lahan tersebut.
Pengembang Palem Semi mengklaim tanah tersebut dan ingin menggusur warga pada 2008. Namun, rencana tersebut gagal setelah warga melakukan unjuk rasa dan pengem bang tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan lahan tersebut kepada warga. Usaha Palem Semi ternyata tidak berhenti sampai di situ. Palem Semi melepaskan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah (SPH) ke Pemkot Tangerang. Maka, rencana penggusuran dilanjutkan Pemkot Tangerang dengan dalih penertiban fasos (fasilitas sosial) dan fasum (fasilitas umum).
Satpol PP Kota Tangerang lalu menyebarkan surat peringatan penggusuran kepada warga Kampung Bawah berdasarkan Surat Wali Kota Tangerang Nomor 005/3313-Pem Tanggal 26 September Perihal Rapat Persiapan Penertiban.
Sekretaris Dinas Perumahan dan Permukiman (Sekdis Perkim) Maryono Hasan menjelaskan, pemda menerima penyerahan aset itu pada tahun 2016 dan 2017. Sementara, proses legalitas tanah yang diberikan dari pihak Palem Semi kepada pemkot berasal dari pembelanjaan lahan yang dilakukan pada tahun 1983 dan tahun 1984. "Kami pemda tidak ada kewenangan untuk membelanjakan tanah tersebut, justru kami menerima proses pemberian tanah fasos fasum dari Palem Semi saat ini," kata Maryono, belum lama ini.
Kepala Bidang (Kabid) Penegakan Produk Hukum Daerah (Gakumda), Kaonang, mengklaim status tanah tersebut kini sudah milik pemerintah daerah. Ia mengatakan, tanah tersebut juga sudah dicocokkan ke kejaksaan maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN). "Memang tanah tersebut fasi litas sosial dan fasilitas umum, bukan tanah yang lain," katanya.
Proyek Manajer Palem Semi, Suharso, optimistis bahwa kepemi likan tanah yang mereka miliki yang juga sudah diserahkan ke pemerintah daerah sudah riil. Sebab, saat ini di atas tanah tersebut sudah dibangun rusunawa dan puskesmas.
Anggota Komisi I DPRD Kota Tangerang, Ahmad Deden Fauzi, melihat persoalan rencana penggusuran di RT 02 dan 04 RW 06, Kelurahan Panunggangan Barat, Cibodas, Kota Tangerang, muncul karena adanya kepemilikan ganda dari lahan tersebut. Baik masyarakat maupun Pemkot Tangerang sama-sama mengklaim memiliki surat kepemilikan.
Deden menjelaskan, berdasarkan pengakuan dari pihak Pemkot Tangerang, ada Surat Pelepasan Hak (SPH) dari Palem Semi. Menurut dia, SPH dari Palam Semi tersebut harus dipastikan terkait validasinya. "Cek ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) apakah SPH yang dipunyai oleh pemkot yang berasal dari Palem Semi itu apakah yang sah atau enggak kan itu mesti dicek," kata politikus Par tai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Sebelum melakukan validasi SPH, Deden menilai perlu ditelusuri juga asal-usul kepemilikan tanah yang diklaim milik Palem Semi tersebut diperoleh dari mana. "Apakah dari warga atau kepemilikan dari siapa, transaksinya ke siapa, yang jelas warga juga mempunyai data kepemilikan terkait dengan AJB, sertifikat, girik, dan sebagainya, punya," katanya.
Menurut Deden, kalau memang Pemkot Tangerang punya kepentingan terhadap lahan tersebut, ia meminta Pemkot Tangerang jangan mengabai kan kepentingan warga kampung yang telah menempati tanah tersebut sejak 32 tahun yang lalu.
"Intinya memang enggak bisalah memaksakan, itu mesti diperjelas jangan sampai ada yang terzalimi, jangan sampai ada yang dirugikan. Jangan sampai ada orang yang hilang kepemilikan sementara mereka me nempati itu 32 tahun yang lalu," ujarnya.