REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto sudah tiga kali mangkir dari pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bersamaan dengan mangkirnya tersebut, Novanto dan tim kuasa hukum menggunakan berbagai alasan mulai dari perlu izin presiden hingga dengan hak imunitas DPR.
Tak cukup dengan dua alasan tersebut, kini Novanto menggunakan alasan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memenuhi panggilan KPK. Hal ini karena, Novanto baru saja mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kita lihat saja (datang atau tidak). Kan saya sudah kirim surat juga ke KPK karena sedang mengajukan gugatan ke MK," ujar Novanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/11).
Begitu pun saat kembali ditanyai soal kepastian hadir dalam panggilan KPK, Ketua Umum Partai Golkar itu menegaskan dirinya tetap akan menunggu hasil putusan uji materi di MK. "Pokoknya kita ujilah. Sama-sama kita uji supaya tidak ada perbedaan-perbedaan," ujar Novanto.
Sebelumnya Kuasa hukum Ketua DPR RI Setya Novanto, Fredrich Yunandi mengajukan permohonan uji materi dua pasal dan dua ayat di Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dua Pasal tersebut yakni Pasal 12 dan Pasal 46 Ayat (1) dan (2). Menurut Frederich, Pasal 46 mengenai penyidikan telah bertentangan dan terkesan mengabaikan UUD 1945. Sementara dalam Pasal 12, KPK dapat memerintahkan instansi terkait untuk melakukan pencegahan ke luar negeri maupun pencekalan.
Fredrich berpegangan pada UU Dasar 1945, UU MD3, dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/2014 tentang hak imunitas dan perizinan pemanggilan anggota dewan kepada presiden.
Ia juga menilai, pengajuan permohonan uji materi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Mahkamah Konsitusi (MK), mirip seperti apa yang dilakukan KPK terhadap panitia khusus (Pansus) hak angket KPK. Kliennya kata Federich, akan menunggu hasil putusan MK sebelum memenuhi panggilan KPK.
"Daripada kita ribut lalu debat kusir, lebih baik saya uji di MK. Biar MK yang akan memberikan pertimbangan atau putusan, sekiranya apa yang jadi acuan penegak hukum. Sehingga, kita kembalikan apa yang dilakukan KPK terhadap Pansus," ujar Fredrich di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (13/11).
Adapun KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan proyek KTP-el. Atas perbuatannya, Setya Novanto disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang Republik Inonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tipikor Juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.