REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama akan kembali menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) di BSD Tangerang, 20 – 24 November 2017. Lebih dari 400 intelektual, dalam dan luar negeri, terkonfirmasi akan hadir pada gelaran kali ketujuh belas ini.
Sebagian dari mereka akan menjadi pembicara dan panelis untuk memaparkan hasil penelitiannya. Pembicara luar negeri, antara lain: Prof Farid Alatas PhD (National University of Singapore), Prof Nico J Kaptein (Leiden University), Prof Lisolette Abid (Vienna University), Prof Livia Holden (Oxford University), Prof Saif Rashid al-Jabiri (University Canada Dubai), Dr Nargiza F Amiroza (Nagoya University Japan), dan Dr Ahmed al-Senouni (Emirati Development Program, dan Muwatta Center Abu Dhabi).
Sementara untuk pembicara dalam negeri, tercatat sejumlah guru besar di berbagai studi keislaman, antara lain: Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA, KH Husein Muhammad, dan Prof Dr Kamaruddin Amin.
Nasaruddin Umar lahir di daerah perkampungan Ujung, Dua Boccoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, tahun 1959. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Pesantren As’adiyah, Sengkang, Wajo, ia melanjutkan studinya di Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Ujung Pandang pada 1980-an, dan lulus dengan penghargaan sebagai mahasiswa teladan di kampus tersebut. Ia kemudian melanjutkan studi di IAIN/UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan mendapatkan gelar magister (1992) serta doktor, dengan predikat terbaik (1998).
Nasaruddin menulis disertasi tentang Perspektif Gender dalam Alquran, dan dinobatkan sebagai alumni terbaik oleh UIN Syarif Hidayatullah. Selama studi menuju doktor, ia sempat menjadi salah satu mahasiswa tamu di Universitas McGill, Montreal, Kanada (1993-1994), Universitas Leiden, Belanda (1994-1995), dan Universitas Sorbonne (1995).
Setelah meraih gelar doktor, ia pernah menjadi sarjana tamu di Shopia University, Tokyo (2001), School of Oriental and African Studies, University of London (2001-2002), Georgetown University, Washington DC (2003-2004) dan di Universitas Sorbonne Nouvelle-Paris III. Sebagai Guru Besar di UIN Syarif Hiyatullah, sampai saat ini Nasaruddin masih aktif membimbing mahasiswa untuk penulisan skripsi S1, tesis S2 dan disertasi S3.
Sejak 2006, Nasaruddin menjabat sebagai rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, selama empat peiode sampai saat ini. Ia juga pendiri organisasi lintas agama Masyarakat Dialog antar Umat Beragama dan Anggota Indonesia-UK Islamic Advisory Group yang didirikan oleh mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair.
Magnum oppus Nasaruddin tertuang dalam buku Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran yang pertama kali diterbitkan oleh Paramadina Jakarta tahun 1999. Karya ini merupakan buku rujukan utama dalam diskursus dan penelitian tentang jender. Dalam berbagai penelitian akademis tentang relasi laki-laki dan perempuan seperti disertasi dan thesis pada perguruan tinggi di Indonesia, karya pak Nasar ini selalu dirujuk.
Karya ini sekaligus menempatkan sosok pak Nasar sebagai tokoh feminis yang secara akademis memperjuangkan keadilan untuk semua. Perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis masih dijadikan alasan untuk saling mensubordinasi antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan anatomi biologis antara laki-laki dan perempuan cukup jelas, namun efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin itu melahirkan seperangkat konsep budaya.
Menurut Nasaruddin, Alquran mengakui adanya “perbedaan” (distinction) antara laki-laki dan perempuan itu, tetapi “perbedaan” itu bukanlah “pembedaan” (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Perbedaan itu sejatinya dimaksudkan untuk mendukung misi pokok Alquran, yakni terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang di lingkungan keluarga, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal di masyarakat secara luas.
Kualitas individual laki-laki dan perempuan di mata Tuhan tidak ada perbedaan. Surga dan neraka bukanlah tempat yang dihuni atas dasar jenis kelamin. Kedua kategori jenis kelamin itu mempunyai potensi yang sama untuk masuk surga atau neraka. Amal dan prestasi yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuanlah yang membedakan seseorang itu masuk surga atau neraka. Oleh karenanya, tidak perlu ada diskriminasi secara sosial yang didasarkan atas dasar perbedaan jenis kelamin.
Nasaruddin kini menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Di masjid ini, dia mengembangkan sejumlah kajian keagamaan untuk mendorong moderasi keislaman bagi umat Islam, di samping kegiatan-kegiatan yang mengiringi ibadah rutin lainnya. Melalui masjid Istiqlal, dia mendorong untuk memperkenalkan wajah Islam Indonesia yang santun, toleran, dan moderat.
Di kampung kelahiran, Nasaruddin bersama sejumlah pihak mendirikan Pesantren Al-Ikhlas. Di pesantren ini diajarkan pengetahuan keislaman berbasis kitab kuning, dilengkapi dengan mata pelajaran umum melalui layanan pendidikan formal dan penguatan bahasa Arab dan Inggris. Lulusan pesantren ini diharapkan menjadi kader intelekual dan tokoh sosial yang memiliki pemikiran dan wawasan yang luas, moderat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Nasaruddin juga aktif sebagai dai umat di forum-forum keagamaan, baik masjid, perkantoran, pusat kajian, televisi, dan mimba-mimbar lainnya. Pengajian rutin di Masjid Agung Sunda Kelapa, Masjid Agung Attin, dan masjid lainnya dia lakoni lebih dari 10 (sepuluh) tahun terakhir secara istiqamah. Kajian keagamaannya mengangkat tema tasawuf, husnul khatimah, asmaul husna, dan sejumlah kajian keislaman lainnya yang terus dipenuhi oleh para jamaah dari berbagai segmen.
Nasaruddin juga adalah seorang birokrat. Dia pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Agama Republik Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoono, yakni periode tahun 2011-2014. Sebelumnya, ia juga pernah menjabat eselon 1 di Kementerian Agama Republik Indonesia, yakni sebagai Dirjen Bimas Islam.
Kehadiran Prof Dr Nasaruddin Umar MA sebagai salah satu pembicara diharapkan menambah bobot AICIS. AICIS nantinya diharapkan tidak sekedar menjadi forum tukar menukar gagasan intelektual semata, tetapi juga mengasilkan rumusan yang dapat diimplementasikan secara sosial dan sekaligus dapat direkognisi negara.