REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Generasi yang lahir di era 80an sampai 90-an merepresentasikan karakteristik yang unik dengan beragam ruang aktualisasi diri dalam berbagai sendi kehidupan. Generasi milenial memiliki ruang tersendiri dalam memotret sisi keagamaan, ideologi, partisipasi politik, nilai nilai sosial, pendidikan, pekerjaan, kewirausahaan, gaya hidup, teknologi dan internet.
Mempertimbangkan dan melihat era Generasi Milennial Nahdlatul Ulama (NU) saat ini, maka penting kiranya dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2017 di Lombok, NTB, untuk mendorong dan mengintervensi kepemimpinan nasional bagi generasi milenial NU di semua level kepemimpinan.
"Generasi Milenial Nahdlatul Ulama berani bersatu untuk mendorong tokoh NU menjadi presiden pada Pemilu 2019 serta gubernur dan bupati pada pilkada serentak 2018," kata Koordinator Provinsi Generasi Milenial NU NTB, Muhammad Akbar Jadi dalam siaran, Jumat (24/11).
Menurut Akbar Jadi, Generasi Milenial NU memiliki kesimpulan masyarakat Indonesia yang plural ini rawan dengan potensi gesekan antarkeyakinan dan pemikiran.
Maka dari itu, lanjut dia, dibutuhkan kepemimpinan nasional yang kuat dalam komitmen dan penegakan aturan, agar prinsip-prinsip kebangsaan dan kesejahteraan umat tetap menjadi prioritas kebijakan.
"Kami Generasi Milennial NU, sampai pada kesimpulan bahwa representasi NU dalam kepemimpinan nasional merupakan prasyarat yang harus ada. Kombinasi kekuatan nasionalis dan agama dalam kepemimpinan nasionalmerupakan keharusan, bahkan kebutuhan.Pemerintah harus kuat namun adil,harus tegas namun terbuka, harus patuh pada hukum namun berpegang pada prinsip kemanusiaan.Hal-hal di atas hanya mampu dicapai, apabila ada //trust// yang besar dari rakyat kepada pemerintah," ujar Akbar Jadi.
Karena itu, pihaknya sebagai Generasi Milennial NU, mengusulkan dan meminta agar dalam formasi kepemimpinan pada 2019, ada tokoh NU yang menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Mengapa? Alasannya, lanjut dia, karena presiden dan wakil presiden bukan hanya kepala negara dan pemerintahan.
"Mereka adalah simbol dan wajah terdepan Republik ini.NU yang berkarakter ramah,lembut, dan persuasif, harus menjadi bagian dari wajah itu.Apalagi NU adalah juga wajah dari mayoritas rakyat Indonesia yang 80 persennya beragama Islam. Menempatkan tokoh NU sebagai pemimpin nasional berarti menggenapkan keterwakilan atas tiga hal, yaitu keterwakilan dari segi jumlah, kelompok dan karakter.Ini adalah wajah Republik yang ingin kami lihat di tahun-tahun mendatang," kata Akbar Jadi.
Dia melanjutkan, Generasi Milenial NU mendesak agar para kiai dan ulama yang tengah berkumpul dalam Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar(Konbes) NU di Mataram saat ini mempertimbangkan hal itu dengan sungguh sungguh.
"Merekomendasikan tokoh NU menjadi calon pemimpin di 2019 bukanlah hal yang berlebihan.Bukan jugaberarti NU terlibat dalam politik praktis.NU bukan partai.NU adalah penyambung lidah puluhan juta umat,yang mayoritas masih miskin.Sangat wajar jika NU ingin memastikan bahwa kepemimpinan mendatang bisa dinikmatisebesar-besarnya untuk kesejahteraan umatdan bangsa," ujar Akbar Jadi.