REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Populasi bekantan yang hanya hidup di Pulau Kalimantan, kini semakin terancam akibat rusaknya ekosistem, seperti menipisnya kawasan hutan mangrove dan adanya pembangunan di daerah rivarian atau kanan kiri sungai.
"Bahkan berdasarkan hasil tangkapan kamera trap yang kami pasang, banyak bekantan bergerak di permukaan tanah, padahal bekantan merupakan satwa yang hidup dan bergerak dari pohon ke pohon," ujar Yaya Rayadin, peneliti dari Universitas Mulawarman Samarinda, saat dihubungi di Samarinda, Senin (27/11).
Yaya bersama Tim Ecositrop meneliti keberadaan bekantan menggunakan kamera trap selama empat tahun sejak 2013 hingga 2017. Sebaran kameranya adalah daerah yang pernah menjadi populasi maupun lokasi yang dicurigai menjadi sebaran satwa dengan nama latin Narsalis larvatus tersebut.
Tim ini banyak melakukan studi kamera trap pada kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Timur, kemudian mendokumentasikan sehingga diketahui perilaku serta keberadaan keragaman mamalia therestrial (bergerak di atas permukaan tanah). Kawasan yang dipasang kamera trap seperti di berbagai fungsi lanskap, khususnya kawasan perkebunan sawit, pertambangan, hutan tanaman industri, kawasan konservasi, termasuk kawasan lindung di Kaltim.
Selama melakukan penelitian bersama Tim Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop), lanjut dosen Fahutan Unmul ini, ada hal menarik terkait hasil kompilasi seluruh data dari foto kamera trap.
Di sejumlah lokasi, peneliti berhasil merekam pergerakan bekantan di atas permukaan tanah. Ironisnya, pergerakan tersebut justru di kawasan perkebunan sawit, HTI, dan kawasan reklamasi tambang, padahal kawasan tersebut dikenal bukan sebagai habitat bekantan.
"Bekantan atau proboscis monkey merupakan satwa endemik Kalimantan dan hanya tersebar di beberapa tipe habitat mangrove dan rivarian," jelasnya.
Bekantan merupakan satwa yang hidup secara berkelompok, sangat tergantung kepada vegetasi mangrove dan beberapa jenis pohon di rivarian.
Adanya perusakan dan penghilangan vegetasi yang ada di atasnya, lanjut Yaya, sangat mudah mengganggu populasi bekantan, karena sumber pakan mereka habis dan antara tajuk pohon satu dengan lainnya tidak saling terhubung, sehingga satwa itu banyak bergerak di atas tanah.
Yaya juga mengatakan jumlah populasi bekantan di Kepulauan Borneo, secara khusus memang belum pernah dihitung, namun bisa diperkirakan berdasarkan data yang terekam oleh sejumlah peneliti.
"Apabila mengkompilasi hasil berbagai penelitian yang dilakukan di sejumlah tempat seperti pada kawasan di Sabah, Brunei Darussalam, Serawak, dan sejumlah kawasan di Kalimantan, diperkirakan populasi bekantan tinggal 15.000 hingga 20.000 ekor," ujar Yaya.