Senin 04 Dec 2017 16:30 WIB
Ulama Nusantara

Jejak Emas Syekh Mahfuzh at-Tarmasi

Ilustrasi Kitab Kuning
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Kitab Kuning

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahfuzh at-Tarmasi, satu dari sekian ulama nusantara yang berhasil menorehkan capaian yang luar biasa, bukan hanya di tingkat regional, melainkan juga di kancah global ketika itu. Bahkan, sebagian warisan intelektualnya masih terpelihara dengan apik hingga sekarang. Beberapa di antaranya dicetak ulang dan menjadi rujukan penting kajian Islam di berbagai belahan dunia.   

Nama lengkap Syekh Mahfuzh al-Tirmisi adalah Muhammad Mahfuzh bin Abdullah bin Abdul Manan bin Abdullah bin Ahmad at-Tarmasi. Ia lahir dari desa yang cukup terpencil, yaitu Termas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, pada 31 Agustus 1868 M.

Menurut Martin van Bruinessen dalam tulisannya di buku Kamus Biografi Para Terpelajar dan Tokoh Besar dari Negeri Muslim Pinggiran Sejak Abad ke-19 Hingga Kini (1992), beliau merupakan salah satu ulama yang dihormati pada zamannya.

Ia menghabiskan masa produktifnya untuk belajar di Makkah. Pada awal abad ke-20, kebanyakan kiai yang berpengaruh asal Jawa belajar kepada KH Mahfuzh di Makkah.

KH Mahfuzh berjasa antara lain dalam mengembangkan kajian beragam karya, antara lain mengenai kumpulan hadis sahih, ushul fikih, dan sebagainya. Kajian-kajian itu sebelumnya jarang dijumpai di banyak pesantren di Jawa.

Kakek dari pihak ayahnya, bernama Abdul Mannan Dipomenggolo, merupakan pendiri Pesantren Termas pada 1830. Setelah Abdul Mannan wafat pada 1862, Pesantren Termas dipimpin oleh anaknya, Abdullah. KH Mahfuzh merupakan anak tertua Abdullah bin Abdul Mannan.

Dalam usia muda, KH Mahfuzh telah dikirim ke Makkah untuk melanjutkan pendidikannya pada ulama terkemuka Mazhab Syafi'i di sana, antara lain Sayyid Bakri (Abu Bakar bin Muhammad al-Shatta' ad-Dimyati). Sayyid Bakri juga merupakan anak dari guru kakeknya KH Mahfuzh pada waktu silam di Makkah.

KH Mahfuzh juga belajar pada kolega Sayyid Bakri, yakni Muhammad Sa'id Basil (yang merupakan pengganti Ahmad bin Zayni Dahlan selaku mufti Mazhab Syafi'i di Makkah).   Ia juga menimba ilmu dari syekh Universitas Al-Azhar, Kairo, Ibrahim Bajuri (wafat 1277 H/1860 M).

Selain itu, KH Mahfuzh juga menimba ilmu pada sejumlah ulama asal Indonesia yang bermukim di Makkah dan mengajar di Masjidil Haram. Mereka antara lain Syekh Nawawi al-Bantani, Abdul Ghani al-Bimawi, dan Muhammad Zainuddin al-Sumbawi.

Sebelum pergi Tanah Suci, Syekh Mahfuzh belajar agama kepada ayahnya sendiri, Kiai Abdullah, dan Kiai Saleh Darat Semarang, Jawa Tengah. Dia adalah guru yang sangat dihormati di antara kiai NU. Dia menyelesaikan pendidikannya di bawah bimbingan guru-guru Arab agung di Masjidil Haram dan menjadi ahli qiraah Alquran.

KH Mahfuzh belajar di Pesantren Tegalsari, Ponorogo, yang diasuh sosok terkemuka, KH Kasan Besari (KH Ageng Hasan Besari). Di antara muridnya yang paling terkenal adalah Raden Ngabehi Ronggowarsito, pujangga Keraton Kasunanan Surakarta.

Setamatnya belajar, KH Mahfuzh tidak langsung kembali ke Jawa. Ia menetap sekian tahun di Makkah untuk menjadi mengajar. Tetapi, pada 1894 ayahnya wafat. Selanjutnya, adiknya KH Mahfuzh, Dimyati (wafat 1948), menjadi pengurus Pesantren Termas selanjutnya.

Namun, pesantren tersebut justru kian tersohor lantaran nama besar KH Mahfuzh, yang sampai saat itu belum pernah mengajar di sana. Di Makkah, dia mengajar sejumlah sosok yang kemudian menjadi tokoh penting di Indonesia. Misalnya, KH Hasyim Asy'ari, KH Bisri Syamsuri, dan KH Wahab Chasbullah. Pada 1926, ketiganya mendirikan Nahdlatul Ulama.

Dalam hal KH Hasyim Asy'ari, situs resmi Nahdlatul Ulama (NU) menyebutkan, KH Mahfuzh sempat memberikan kitab berjudul Hasyiyah al-Futuhat al-Ilahiyah 'ala al-Jalalayn kepada KH Hasyim Asy'ari. Ini merupakan bentuk kasih sayang sang guru terhadap muridnya.

Pada halaman akhir, ada tulisan tangan serta ungkapan doa dari KH Mahfuzh saat menamatkan kitab tafsir tersebut ketika masih di bawah bimbingan gurunya, Sayyid Abi Bakar Syatha Makkah. Dia merupakan pengarang kitab I'anah Tholibin pada 1306 Hijriyah atau 1889 Masehi. Hingga saat ini, kitab Hasyiyah itu masih tersimpan di koleksi milik KH Hasyim Asy'ari di Pesantren Tebuireng, Jombang.

Selain itu, KH Mahfuzh juga mengajar sejumlah tokoh muda, semisal, Ali al-Banjari (penduduk Makkah yang berasal dari Banjar, Kalimantan Selatan), Muhammad Baqir al-Jugjawi (penduduk Makkah juga, tetapi berasal dari Yogyakarta), Muhammad Ma'sum al-Lasami (pendiri Pesantren Lasem), Abdul Muhit (berasal dari Sidoarjo).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement