REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum Setya Novanto mempermasalahkan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menetapkan kembali kliennya sebagai tersangka kasus korupsi KTP-elektronik (KTP-el) karena telah melanggar azas ne bis in idem. Menurut Ketut Mulya Arsana, kuasa hukum Novanto dalam putusan praperadilan pertama pada Jumat (29/9) yang dibacakan Hakim Tunggal Cepi Iskandar dinyatakan bahwa penetapan tersangka kliennya itu tidak sah.
"Isinya, menolak eksepsi seluruhnya, mengabulkan permohonan sebagian, penetapan tersangka tidak sah, dan memerintahkan menghentikan penyidikan," kata Ketut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (7/12) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Kusno pada Kamis menggelar sidang perdana praperadilan Setya Novanto dengan agenda pembacaan permohonan praperadilan dari pihak pemohon.
"Dengan demikian, status pemohon tidak lagi tersangka. Bahwa penetapan tersangka yang kedua kalinya yang dilakukan termohon telah melanggar azas 'ne bis in idem' karena bentuk pengulangan berdasarkan penyidikan sebelumnya," ucap Ketut.
Ne bis in idem sendiri diatur dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP yang menyebutkan "kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap".
"Dalam arti hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut".
Sidang praperadilan Novanto akan dilanjutkan Jumat (8/12) dengan agenda jawaban dari pihak termohon dalam hal ini KPK dan juga pengajuan bukti surat dari kedua belah pihak. Setya Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus korupsi KTP-el pada Jumat (10/11).
Setya Novanto disangkakan Pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.