Kamis 07 Dec 2017 19:30 WIB

Ketika Peradaban Islam Mengobservasi Langit

Rep: Hri/ Red: Agung Sasongko
Langit malam berbintang/ilustrasi
Foto: Pixabay
Langit malam berbintang/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah ekspansi Islam tahap awal berhasil dilakukan, kaum Muslim mulai tertarik untuk mengobservasi langit. Pengamatan terhadap berbagai fenomena yang terjadi luar angkasa gencar dilakukan umat Islam karena desakan kebutuhan akan jadwal yang tepat, penetapan kalender serta penentuan jadwal shalat. Aktivitas ini pun mendapat dukungan dan sokongan dari para khalifah.

Untuk menguak rahasia langit, peradaban Islam pun membangun observatorium astronomi. Observatorium merupakan sebuah lokasi untuk mengamati langit dan peristiwa yang terjadi di luar angkasa, tempat ini dilengkapi perlengkapan yang diletakkan secara permanen. Peradaban Islam dianggap telah berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar observatorium modern.

''Seringkali pendirian observatorium didorong minat kerajaan terhadap astrologi,'' ungkap Howard R Turner dalam bukunya bertajuk ''Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction. Berdasarkan catatan sejarah, observatorium astronomi Islam pertama kali dibangun pada era kejayaan Dinasti Abbasiyah.

Observatorium tertua yang di dunia Islam adalah Shammasiyah. Tempat pengamatan fenomena langit itu dibangun Khalifah Al-Mamun di kota Baghdad sekitar tahun 828 M. Pembangunan observatorium itu sangat terkait dengan pusat gerakan intelektual Kekhalifahan Abbasiyah - Bait Al-Hikmah - yang juga didirikan Al-Mamun.

Al-Mamun mengundang para astronom untuk melakukan pengamatan terhadap Matahari, Bulan dan planet-planet. Hasil pengamatan para astronom di era kejayaan Dinasti Abbasiyah itu diabadikan dalam sebuah buku bertajuk ''Mumtahan''. Pada abad itu, pengamatan dan pengkajian terhadap fenomena langit juga dilakukan Bani Musa bersaudara di Kota Baghdad.

Salah satu pencapaian penting yang dilakukan Bani Musa di Observatorium Shammasiyah adalah studi tentang Ursa Major -- Ursa Major alias "Beruang Besar" yang dikenal pula sebagai "rasi biduk", "bintang biduk", atau "bintang tujuh". Ursa Major merupakan rasi bintang yang tampak sepanjang tahun di belahan utara langit.

Kalangan pelaut menjadikan rasi itu sebagai petunjuk untuk memperkirakan titik utara langit, dengan menarik garis lurus dari dua bintang (alfa dan beta) terterang ke arah horison. Di Observatorium Baghdad itu pula, Bani Musa berhasil mengukur ketinggian maksimum dan minimum Matahari. Mereka juga sudah mampu mengamati fenomena gerhana Bulan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement