REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menaikkan plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi Rp 120 triliun pada 2018 dari Rp 106,6 triliun pada tahun ini . Dengan begitu, ada kenaikan Rp 13,4 triliun.
Pengamat Indef Bhima Yudhistira menilai, langkah itu perlu diapresiasi. Pasalnya, jumlah penerima KUR tahun depan akan naik signifikan.
Hanya saja, kata dia, masih ada yang harus diperbaiki dalam penyaluran KUR. Salah satunya, terkait porsi jenis usaha penerima KUR
"Sejak adanya program KUR, sebanyak 66 persen penerima adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di sektor perdagangan. Sementara UMKM pertanian hanya 17 persen, perikanan 1 persen, dan industri pengolahan empat persen," tutur Bhima kepada Republika, Ahad, (10/12).
Padahal, menurutnya, penyerapan tenaga kerja dan dampak terhadap ekonomi bisa lebih maksimal jika UMKM pertanian dan industri diprioritaskan menerima KUR. Bhima mengatakan, pemerintah harus mendesain ulang skema pemberian kredit ke sektor produktif seperti pertanian serta industri.
"Hal itu karena, turnover kreditnya cukup lama. Misalnya, petani butuh tiga bulan baru bisa mencicil kredit setelah panen, tenornya pun berbeda dengan kredit perdagangan," jelas Bhima.
Dia menambahkan, perlu ada skema KUR khusus dengan tenor pengembalian kredit lebih panjang. Selain itu harus diberlakukan masa jeda cicilan atau grace period setelah tiga bulan atau setelah panen.
"Jadi kelihatannya masih sulit capai target penyaluran KUR ke sektor produktif bila dengan skema KUR yang ada sekarang," tegas Bhima. Apalagi, kata dia, banyak penyalur KUR juga masih memikirkan risiko sektor industri dan pertanian karena ekonomi masih belum pulih.