Jumat 15 Dec 2017 06:15 WIB

Menguak Sosok Firaun yang Ditenggelamkan

Rep: sya/berbagai sumber/ Red: Agung Sasongko
Laut Merah
Foto: wikipedia
Laut Merah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah Firaun dan kekejamannya terhadap Bani Israil meninggalkan hikmah yang besar bagi umat Islam. Akibat kesombongan Firaun yang mengaku sebagai tuhan, dia pun dilaknat Allah SWT. Ia tewas di Laut Merah bersama tentaranya saat mengejar Nabi Musa AS. Dan, jenazahnya kemudian diselamatkan oleh Allah SWT. Jasadnya diawetkan dan dapat ditemui hingga kini (QS Yunus: 92).

Dalam riwayat, ketika Firaun ditenggelamkan di Laut Merah dan akhirnya tewas, jasadnya diselamatkan oleh Allah. Menurut beberapa keterangan, setelah tenggelam, mayatnya terdampar di pantai dan ditemukan oleh orang-orang Mesir untuk diawetkan (dibalsem) hingga utuh seperti sekarang dan dapat dilihat di museum Mesir.

Siapakah Raja Firaun yang mengaku dirinya sebagai tuhan tersebut? Seperti diketahui, Firaun adalah gelar bagi raja-raja Mesir purbakala. Menurut sejarah, Firaun di masa Nabi Musa adalah Minephtah (1232-1224 SM), putra dari Ramses II.

Seperti yang banyak diceritakan, raja yang memusuhi Nabi Musa AS itu adalah Ramses II, bukan Minephtah. Namun, setelah diselidiki, Ramses II justru merupakan seorang raja yang baik. Ia memerintahkan rakyatnya untuk selalu berbuat adil. Ia memerintah selama 68 tahun pada 1304-1237 SM. Sedangkan, anaknya, Minephtah, dikenal sebagai raja yang sangat kejam. Dialah yang menentang Nabi Musa dan mengaku sebagai tuhan.

Setelah sekian ribu tahun terkubur, akhirnya mumi Firaun Minephtah ditemukan pada tahun 1898 M oleh Loret di Thebes di Lembah Raja-raja (Wadi al Muluk). Dr Maurice Bucaille, seorang peneliti, bersama anngota tim berhasil mengungkapkan penyebab kematian Firaun Minepthah dan pengawetannya. Menurut Bukay, dalam sebuah penelitian medis yang dilakukan dengan mengambil sampel organ tertentu dari jasad mumi yang ditemukan, pada tahun 1975, melalui bantuan Prof Michfl Durigon dan pemeriksaan yang detail dengan menggunakan mikroskop, bagian terkecil dalam organ itu masih dalam kondisi terpelihara secara sempurna. Ini menunjukkan bahwa keterpeliharaan secara sempurna itu tidak mungkin terjadi andaikata jasad tersebut sempat tinggal beberapa lama dalam air atau berada lama di luar air sebelum terjadi proses pengawetan pertama.

Dr Bucaille menyebutkan, dirinya bersama tim telah melakukan banyak penelitian, di antaranya untuk mengetahui dugaan sebab kematian Firaun. Penelitian yang dilakukannya berjalan legal karena dibantu Direktur Laboratorium Satelit di Paris, Ceccaldi, dan Prof Durigan. Objek penelitian dititikberatkan pada salah satu orang di tengkorak kepala.

Mengenai hasilnya, Dr Bukay mengungkapkan, ''Dari situ, diketahui bahwa semua penelitian itu sesuai dengan kisah-kisah yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang menyiratkan bahwa Firaun tewas ketika digulung gelombang.''

Bucaille menambahkan, betapa Alquran sangat detail dalam menjelaskan sesuatu, termasuk cerita dan proses pengawetan Firaun. Hal ini tidak disebutkan dalam kitab lainnya.

Bucaille mengatakan, ''Di zaman di mana Alquran sampai kepada manusia melalui Muhammad SAW, jasad-jasad para Firaun yang diragukan orang di zaman kontemporer ini, apakah benar atau tidak, ada kaitannya dengan saat keluarnya Musa yang sudah lama terpendam di pekuburan Lembah Raja di Thoba di pinggir lain dari sungai Nil di depan Kota al-Aqshar saat ini. Pada masa Nabi Muhammad SAW, segala sesuatu mengenai hal ini masih kabur. Jasad-jasad tersebut belum terungkap, kecuali pada pengujung abad ke-19.''

Sementara itu, dalam kitab Taurat, dijelaskan bahwa jasad Firaun ditelan laut dan tidak memberikan perincian mengenai apa yang terjadi terhadapnya setelah itu.

Karena kisah dan kesesuaian bukti yang diungkapkan ini pula, akhirnya Dr Bucaille memilih dan memeluk agama Islam. Maurice Bucaille adalah seorang dokter ahli bedah terkemuka di dunia yang berasal dari Prancis.

Pada suatu malam, hasil penelitiannya menyebutkan terdapat bekas garam yang menempel pada mayat mumi sehingga dapat ia jadikan sebuah bukti yang nyata bahwa Firaun mati karena tenggelam dan mayatnya dapat di selamatkan, kemudian diawetkan pada saat kejadian.

Dari hasil penelitiannya, timbul beberapa pertanyaan mengenai bagaimana mayat Firaun dapat diselamatkan dan anggota tubuhnya masih tetap utuh, sedangkan kondisi mayat-mayat yang lainnya setelah diawetkan tidak seperti dirinya? Setelah melalui penelitian dan perbincangan, ia mencari penjelasan dalam Alquran dan menemukan jawabannya.

Proses pengawetan

Menurut sejarahnya, tradisi mengawetkan orang yang sudah meninggal itu sudah dilakukan bangsa Mesir kuno sejak 3000 tahun sebelum masehi (SM).

Lalu, mengapa orang yang sudah meninggal tubuhnya mesti diawetkan? Kabarnya, menurut legenda, bangsa Mesir kuno percaya bahwa jiwa atau roh orang yang sudah meninggal suatu hari akan kembali lagi ke dunia. Karena itu, tubuh mereka diawetkan agar jiwa yang akan kembali itu dapat menempati tubuhnya yang telah ditinggalkan dulu.

Percaya atau tidak, tapi itulah yang dipercayai bangsa Mesir kuno.

Lalu, bagaimana caranya mengawetkan tubuh orang yang sudah meninggal alias membuat mumi ini?

Teknologi yang digunakan pada masa Firaun sangat mengagumkan. Mayat yang diawetkan bisa bertahan sampai ratusan, bahkan ribuan tahun. Salah satu mumi Firaun yang terkenal dan bertahan sampai sekarang adalah Tuthankhamen (King Tut) yang ditemukan oleh Howard Carter pada tahun 1922 di dekat makam Ramses VI di Mesir.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement