REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengapresiasi putusan MK terkait judicial review perkosaan, pencabulan dan zina. YLBHI sebagai salah satu pihak terkait tidak langsung dalam perkara ini, menurut dia, sejak awal menegaskan bahwa apabila permohonan ini diterima, maka Indonesia akan diterpa krisis kelebihan tindak pidana atau overkriminalisasi.
"Sebagai contoh, orang yang poligami, karena tidak dalam ikatan perkawinan resmi bisa dipidana dengan tuduhan zina," kata dia melalui keterangan tertulis, Kamis (14/12).
(Baca: Penolakan Soal LGBT, Ini Kata ICJR)
Dia menyebutkan overkriminalisasi menjadi ancaman serius bagi kebijakan hukum pidana di Indonesia. "Penggunaan hukum pidana yang berlebihan akan menimbulkan dampak buruk tidak hanya pada warga negara namun juga pada institusi negara dan negara itu sendiri secara makro," katanya.
Memperluas makna dari zina dengan cara menghapus syarat ikatan perkawinan (mengkriminalkan hubungan seksual suka sama suka) dan memidana hubungan seksual sesama jenis, menurut dia, jelas akan menimbulkan overkriminalisasi.
Dalam putusannya, YLBHI mencatatat beberapa argumen penting MK. Pertama, MK menemukan adanya inkonsistensi antara posita dan petitum permohonan kedua, MK melihat bahwa permohonan ini bukan sekedar member pemaknaan baru atas norma atau memperluas pengertian yang terkandung dalam norma undang-undang yang dimohonkan melainkan benar-benar merumuskan tindak pidana baru.
Menurut MK hanya pembentuk UU yang berwenang melakukannya. Argumentasi bahwa proses pembentukan UU akan memakan waktu yang lebih lama tidak dapat dijadikan alasan pembenar MK untuk mengambil alih wewenang pembentuk UU.
Ketiga, menurut MK, menghilangkan frasa tertentu dan atau menambahkan pemaknaan baru terhadap suatu norma hukum pidana, yang berarti mengubah pula sifat melawan hukum perbuatan itu, tanpa melakukan penyesuaian dalam ancaman pidananya dan bentuk pengenaan pidananya tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum dalam merancang suatu norma hukum pidana.
Karena hal itu melekat pada jenis atau kualifikasi perbuatan yang dapat di pidana atau tidak di pidana yang bersangkutan. Keempat, secara esensial permohonan ini menjadi berhadapan dengan asas legalitas yang wajib di terapkan secara ketat dalam hukum pidana. Terutama terkait dengan asas nullum cimen nulla poena sine lege stricta, tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada hukum tertulis yang ketat. Jika diterima maka putusan ini jelas tidak memenuhi asas nullum cimen nulla poena sine lege stricta.
Kelima, kedudukan harus dipahami sebagai MK sebagai negative legislator bukan dalam pemahaman sebagai pembentuk UU (positive legislator). Ketika menyangkut norma hukum pidana, MK di tuntut untuk tidak memasuki wilayah kebaijakan pidana atau politik hukum pidana. Pengujian UU yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh MK karena hal itu merupakan bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang dimana pembatasan demikian sesuai dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 adalah kewenangan Ekseklusif pembuat UU.
Keenam bahwa dalam melakukan kriminalisasi haruslah pula melihat kriteria umum yang menjadi prasyarat kriminalisasi sebuah perbuatan. Ketujuh bahwa hukum pidana adalah ultimum remudium atau obat terakhir.
Sehingga tidak semua masalah sosial tidak melulu harus diarahkan penyelesaiannya lewat kebijakan hukum pidana sebagai satu-satunya obat. Kedelapan, bahwa norma pasal-pasal dalam KUHP yang di mohonkan pengujiannya tidak bertentangan dengan UUD 1945.