REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah
"Sejak mahasiswa sudah keluar masuk penjara." Kata-kata ini dituturkan putri Andi Mappetahang (AM) Fatwa, Dian Islamiati Fatwa, saat berkisah ihwal sepak terjang sang ayah.
Bagi Dian yang ditemui di kediaman keluarga besar AM Fatwa, Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (14/12), keluar masuk penjara merupakan sebuah konsekuensi atas nilai-nilai perjuangan yang dianut sang ayah.
Lahir di Bone, 12 Februari 1939, AM Fatwa tumbuh sebagai seorang mahasiswa dengan penuh aktivitas kemahasiswaan. Ia menjabat sebagai ketua senat di IAIN Jakarta sekaligus ketua PB Himpunan Mahasiswa Islam. Berbekal jabatan itu, AM Fatwa kerap mengerahkan mahasiswa, tidak hanya dari IAIN Jakarta, untuk melakukan aksi unjuk rasa menentang kebijakan pemerintah Presiden Soeharto yang keliru.
Kerap berdemo membuat rezim gerah atas tindak tanduknya. Sampai akhirnya pada 1963, AM Fatwa ditahan. Ia dinilai kelewatan karena mengkritik menteri yang memimpin Kementerian Agama yang dinilai harus direformasi. AM Fatwa pun dibuang ke berbagai daerah di Jawa Tengah. Mulai dari Tawangmangu, Solo, hingga Karanganyar.
Beranjak dewasa, sisi kritis AM Fatwa semakin menguat. Dian menuturkan, saat terjadi peristiwa Tanjung Priok 1984, AM Fatwa bersama kelompok kerja Petisi 50 mencoba membuat Lembaran Putih peristiwa yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok.
Lembaran itu mencoba mengungkapkan kesewenang-wenangan rezim. "Rezim saat itu tidak menyukai adanya kebenaran dan ayah dikorbankan dan ayah harus masuk penjara," kata Dian mengenang.
Dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, AM Fatwa ditangkap atas tuduhan subversif. Ia didakwa melanggar Undang-Undang Nomor II/PNPS/1963 karena telah memutarbalikkan, merongrong, dan menyelewengkan ideologi Pancasila atau haluan negara, merusak kewibawaan pemerintah yang sah, atau menyebarkan rasa perpecahan dan permusuhan di kalangan masyarakat.
Selain AM Fatwa, turut ditangkap mantan menteri Perindustrian, Tekstil, dan Kerajinan Rakyat, M Sanusi, dan mantan pangdam Siliwangi, Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) HR Dharsono. Sebagaimana saat mahasiswa, saat itu pun AM Fatwa kerap berpindah dari satu penjara ke penjara lain. Mulai dari Paledang (Bogor), Sukamiskin (Bandung), Cipinang (Jakarta Timur), dan Guntur (Jakarta Selatan).
Tak hanya siksaan fisik semata, AM Fatwa kerap dihantui siksaan psikologis. Dian menceritakan, sewaktu menjenguk dalam suatu kesempatan, AM Fatwa mengaku tidak bisa tidur karena menyaksikan rekan-rekannya dipukuli aparat militer ketika itu. Bentuk-bentuk intimidasi juga menimpa keluarga yang tinggal di Karet Sentiong, Jakarta Pusat.
"Jadi, benar-benar rezim pada saat dahulu itu luar bisa mencoba mematahkan semangat perjuangan seseorang yang ingin berjuang untuk menyuarakan kebenaran," ujar Dian. Setelah sembilan tahun mendekam di Cipinang, AM Fatwa memperoleh amnesti.
Singkat cerita, selepas Orde Baru runtuh, nama baik AM Fatwa direhabilitasi Presiden ke-3 RI BJ Habibie. AM Fatwa kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menjadi pimpinan DPR, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). AM Fatwa juga menjadi salah satu pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) bersama Amien Rais.
Sampai menjelang akhir hayatnya, sikap kritis AM Fatwa tak hilang. Kanker hati stadium empat tidak membuatnya berdiam diri menyaksikan ketidakadilan. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengaku pada Senin (11/12), AM Fatwa mengirim pesan singkat untuk mengambil keputusan dengan cermat perihal agama dan kepercayaan dalam kolom KTP-el. "Ini saya simpan," kata Tjahjo pada wartawan kemarin.
Pada Rabu (13/12) atau satu hari sebelum meninggal, AM Fatwa selaku mantan ketua Badan Kehormatan DPD bahkan masih menanggapi laporan politikus PKB Lukman Edy atas nama anggota DPD asal Bali Arya Wedakarna. Politikus asal Bali itu diduga sebagai salah satu aktor di balik intimidasi yang dialami Ustaz Abdul Somad di Pulau Dewata, beberapa waktu lalu.
Menurut AM Fatwa, Wedakarna juga pernah melakukan pelanggaran semasa dirinya masih menjabat sebagai pimpinan BK DPD. Ini berarti pria bernama lengkap Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III ini telah melakukan dua kali pelanggaran yang mengancam persatuan dan kesatuan nasional.
"Yang bersangkutan (Arya) melakukan lagi pelanggaran pada tingkat yang membahayakan persatuan nasional," kata AM Fatwa melalui sambungan telepon langsung dengan salah satu televisi swasta, Rabu (13/12).
BK DPD sebelumnya telah menerima pengaduan tentang Wedakarna dari masyarakat Muslim di Bali, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). AM Fatwa mengatakan, masyarakat tidak mungkin terus bertoleransi kepada seseorang yang kerap mengeksploitasi perbedaan di masyarakat dan memperuncing perbedaan itu.
"Badan Kehormatan kali ini tidak boleh main-main lagi. Mereka harus melaksanakan kembali keputusan itu," kata AM Fatwa.
Dimakamkan
Kamis (14/12) pagi, tepatnya pada pukul 06.17 WIB, AM Fatwa berpulang ke Rahmatullah. Ia harus takluk oleh kanker hati stadium empat yang telah diderita beberapa tahun belakangan. Almarhum sempat disemayamkan di Gedung DPR/DPD, lalu ke rumah duka di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan, untuk memberikan kesempatan kepada sanak saudara ataupun kerabat memberikan penghormatan terakhir. Kemudian pada pukul 15.20 WIB, jenazah tiba di Taman Makam Pahlawan (TMP), Kalibata, Jakarta Selatan.
Upacara pemakaman dipimpin Ketua Dewan Perwakilan Daerah Oesman Sapta Odang (OSO). OSO lantas membacakan sejumlah atribut yang melekat kepada AM Fatwa, seperti nama lengkap, tempat tanggal lahir, pendidikan terakhir, bintang jasa, dan waktu kematian.
Upacara selesai pukul 16:00 WIB. Setelah itu, keluarga mengantarkan almarhum hingga liang lahat. Karangan bunga pun diletakkan istri dan anak-anak AM Fatwa di atas gundukan tanah makam. Mengantarkan kepergian almarhum menghadap sang Khalik.
(febrianto adi saputro/mutia ramadhani/zahrotul oktaviani, Pengolah: ed: muhammad iqbal)