Kamis 21 Dec 2017 00:05 WIB

Pengacara Setnov: Dakwaan KPK Cacat Yuridis

Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto  membaca nota keberatan di  persidangan pengadilan  tindak pindana korupsi, Jakarta, Rabu (20/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto membaca nota keberatan di persidangan pengadilan tindak pindana korupsi, Jakarta, Rabu (20/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Pengacara Setya Novanto menyatakan keberatan terhadap surat dakwaan mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) KTP-elektronik.

"Ternyata surat dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa mengandung cacat yuridis karena dibuat berdasarkan berkas perkara hasil penyidikan yang tidak sah sehingga mengakibatkan surat dakwaan tidak dapat diterima dan surat dakwaan disusun secara tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sehingga harus dibatalkan," kata ketua tim pengacara Setnov, Maqdir Ismail di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (20/12).

Ada sejumlah alasan tim pengacara menyampaikan keberatan terhadap surat dakwaan, pertama mereka menilai surat dakwaan Setnov dibuat berdasarkan berkas perkara penyidikan yang tidak sah karena berdasarkan SPDP Nomor 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017 yang telah dinyatakan tidak sah oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar.

"Dalam kedudukan sebagai orang yang bebas dari status hukum yang ditetapkan oleh KPK tersebut, terdakwa kembali ditetapkan sebagai tersangka," ungkap Maqdir.

Alasan kedua adalah kerugian keuangan negara tidak nyata dan tidak pasti karena dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto serta Andi Agustinus, kerugan negara adalah senilai Rp 2,31 triliun berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) itu tidak memperhitungkan penerimaan 7,3 juta dolar AS atau setara Rp 94,9 miliar untuk Setya Novanto, 800 ribu dolar AS atau setara Rp 10,4 miliar untuk Charles Sutanto dan Rp 2 juta untuk Tri Sampurno yang seluruhnya sebesar Rp 105,3 miliar.

"Sekitarnya kerugian keuangan negara dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto ditambahkan dengan uang di atas maka terdapat kerugian keuangan negara menjadi Rp 2,42 triliun yang tidak sesuai dengan penghtungan kerugian keuangan negara oleh BPKP," tambah Maqdir.

Selain itu menurut Maqdir, terdapat ketidakkonsistenan dan selisih nilai yang nyata diterima oleh peserta penerima, antara dakwaan Irman dan Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong dengan Setya Novanto. Ketiga, Setnov didakwa bersama-sama dengan teman peserta yang berbeda-beda karena ada penambahan nama peserta baru yaitu Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung serta Anang Sugiana Sudihardjo dalam dakwaan Setnov.

"Dua hal yang tidak lazim terkait dengan penetapan Setya Novanto sebagai terdakwa, dan teman peserta dalam surat dakwaan dari masing-masing terdakwa berbeda. Hal ini membuktikan bahwa dakwaan disusun oleh Penuntut Umum dengan cara-cara yang tidak cermat, sehingga surat dakwaan tidak sesuai dengan ketentuan," tambah pengacara.

Alasan keempat adalah Setnov didakwa bersama-sama melakukan tindak pidana namun pihak-pihak yang diperkaya atau diuntungkan jumlahnya berbeda. Sebagai contoh, Gamawan Fauzi dalam dakwaan Irman dan Sugiharto dinyatakan menerima uang sebesar 4,5 juta dolar AS dan Rp 50 juta namun dalam dakwaan Andi Agustinus jumlah "fee" yang diterima oleh Gamawan Fauzi menjadi hanya sebesar Rp 50 juta, bahkan dalam dakwaan Setnov nilainya disebut diubah secara sepihak oleh penuntut umum menjadi bertambah Rp 50 juta, 1 unit ruko di Grand Wijaya dan ditambah sebidang tanah di Jalan Brawijaya III, Jakarta Selatan.

"Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, Ganjar Pranowo dinyatakan menerima fee sebesar 520 ribu dolar AS, Yasonna Laoly dinyatakan menerima 'fee' sebesar 84 ribu dolar AS, Olly Dondokambey dinyatakan menerima 1,2 juta dolar AS namun dalam surat dakwaan Andi Agustinus alias Andi Narogong, dan dakwaan Setya Novanto, nama-nama tersebut dihilangkan secara sengaja," ungkap pengacara.

Terhadap eksepsi itu, tim JPU KPK menyatakan sudah menyiapkan strategi untuk menjawabnya. "Persoalan kemudian materi kenapa atau ada beberapa nama berubah kerugian negara akan disampaikan minggu depan. Kita sudah siapkan jawaban semua karena pada dasarnya prediksi keberatan terdakwa kira-kira begitu," kata jaksa Abdul Basir usai persidangan.

Setnov diduga menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-el. Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura Made Oka Masagung.

Sedangkan jam tangan diterima Setnov dari pengusaha Andi Agustinus dan direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Setnov telah membantu memperlancar proses penganggaran.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement