REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinar yang menjadi nilai tukar uang umat Islam pada masa lalu memiliki nilai intrinsik berupa emas. Para ahli sejarah pun mencatat adanya alat tukar tersebut membuat nilainya stabil dengan alat tukar lainnya.
Tidak ada istilah atau fenomena inflasi dan deflasi pada masa tersebut. Pada saat ini pun, nilai seekor kambing masih sama dengan ketika masa Rasulullah SAW, yakni berkisar 1 dinar atau Rp 2,2 juta.
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nation, seorang ulama bernama Abu Hamid al-Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, fungsi uang adalah sebagai alat untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai wajar dari pertukaran tersebut.
Uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Apabila fungsi dari uang itu sendiri telah berubah dari esensi dasarnya, akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan deflasi.
Kendati demikian, emas pada awalnya memang bukanlah alat tukar dari bangsa Arab. Transaksi ekonomi bangsa Arab sebelum mengenal dan menggunakan emas adalah barter. Emas, dalam konteks ini dinar dan dirham, merupakan mata uang miliki bangsa Romawi dan Persia.
Kata dinar sendiri berasal dari bahasa Romawi, yakni denarius, sedangkan dirham berasal dari bahasa Persia, yakni drachma. Beredarnya dirham dan dinar di Jazirah Arab dibawa oleh para pedagang Arab yang berdagang di Syam
(di bawah pengaruh Romawi) dan Yaman (di bawah pengaruh Persia).
Sebelumnya, bangsa Arab berdagang secara barter dan tidak pernah memproduksi mata uang sendiri. Akhirnya, bangsa Arab pun mengadopsi dinar dan dirham sebagai sistem mata uang mereka.