Kamis 28 Dec 2017 19:32 WIB

PBB Minta Rusia dan Cina Peduli Rohingya

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Teguh Firmansyah
Seorang anak pengungsi Muslim Rohingya membawa selimut di lokasi pengungsian Kutupalong di Ukhiya, Bangladesh, Kamis (21/12).
Foto: AP/Bernat Armangue
Seorang anak pengungsi Muslim Rohingya membawa selimut di lokasi pengungsian Kutupalong di Ukhiya, Bangladesh, Kamis (21/12).

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Penyelidik Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta dunia internasional  mendesak Cina dan Rusia terkait Rohingya. Kedua negara tersebut menolak mengatakan adanya penyelewangan HAM terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya.

Penyidik PBB Yanghee Lee mengatakan, Cina dan Rusia dinilai gagal mendukung PBB untuk menghentikan kekerasan militer yang menimpa etnis Rohingya. Kedua negara tersebut menunjukan keengganan untuk bergabung bersama Amerika Serikat, Komisi Eropa dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam mengutuk tindakan keras tindakan militer Myanmar. "Saya ingin meminta komunitas internasional untuk membujuk Cina dan Rusia berpihak pada HAM," kata Yanghee Lee, Kamis (28/12).

Juru Bicara Kementrian Luar Negeri Cina Hua Chunying mengatakan, tekanan dari luar tidak akan membantu penyelesaian konflik yang terjadi di Rakhine. Dia mengungkapkan, hal tersebut justru akan memperkeruh situasi di kawasan.

Dia menambahkan, hal tersebut tentu bukan menjadi keinginan dunia internasional, Myanmar serta negara tetangga mereka. "Kami berharap negara atau individu eksternal bisa menciptakan lingkungan positif dan kondusif untuk Myanmar guna menyelesaikan masalah ini untuk diri mereka sendiri," kata Hua Chunying.

Kementerian Luar Negeri Rusia belum memberikan komentar terkait hal tersebut. Meski demikian, Pemerintah Rusia sebelumnya telah memperingatkan agar tidak mencampuri urusan dalam negeri Myanmar. Duta Besar Rusia untuk Myanmar Nikolay Listopadov mengatakan, pihaknya menentang intervensi yang berlebihan karena tidak akan menghasilkan hasilb  konstruktif.

Posisi Cina dan Rusia merupakan hal penting untuk membawa kekerasan yang dilakukan militer Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Kedua negara adidaya tersebut dapat menghalangi Dewan Keamanan PBB untuk merujuk tuduhan kejahatan kemanusiaan tersebut. ICC tidak dapat bertindak melawan Myanmar tanpa rujukan karena Myanmar bukan anggota ICC.

Militer Myanmar dituduh telah melakukan pembunuhan, perkosaan dan pembakaran desa-desa Rohingya selama konflik berlangsung. PBB menilai aksi tersebut merupakan tindakan praktis guna melakukan penghapusan etnis.

Meski demikian, otoritas Myanmar membantah semua tuduham tersebut. Mereka berdalih, militer telah bertindak sesuai jalur hukum dalam operasi pemberontakan. Militer membebaskan diri dari semua tuduhan tersebut dalam penyelidikan internal yang diterbitkan pada 13 November kemarin.

Kementerian luar negeri Myanmar mengatakan jika penilaian yang dilakukan Yanghee Lee tidak objektif atau tidak netral. Mereka meminta penyelidikan yang adil, tidak memihak dan independen dalam kasus tersebut.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement