Sabtu 13 Jan 2018 12:36 WIB

Tim Khusus BI Selidiki Praktik Transaksi Bitcoin di Bali

Bitcoin.
Foto: Reuters/Benoit Tessier
Bitcoin.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Bank Indonesia (BI) menyebar tim khusus bersama kepolisian untuk menyelidiki praktik transaksi menggunakan mata uang virtual, salah satunya Bitcoin, ke sejumlah titik di Bali. BI sebelumnya sudah mengeluarkan surat edaran yang menyebutkan bahwa mata uang virtual atau digital bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Tanah Air.

"Kami sedang melakukan pendataan di Bali khususnya di daerah wisata bekerja sama dengan kepolisian. Untuk transaksi selain Rupiah akan ditindak," kata Kepala Perwakilan BI Provinsi Bali Causa Iman Karana di Denpasar, Sabtu (13/1).

Menurut Causa, sebagai daerah pariwisata dunia diprediksi menarik perhatian oknum tidak bertanggung jawab untuk menjalankan praktik ilegal tersebut di Bali. Pria yang akrab disapa CIK itu mengingatkan masyarakat di Bali untuk tidak memanfaatkan mata uang di dunia maya itu sebagai transaksi karena tidak ada kejelasan yang mengatur mekanisme pembayaran tersebut.

"Kami ingatkan kepada masyarakat berhati-hati dengan transaksi menggunakan bitcoin karena mata uang seperti itu tidak ada otoritas yang mengatur, tidak ada undang-undangnya dan tidak jelas," ucapnya.

Sementara itu Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman dalam keterangan tertulis mengatakan bank sentral melarang bitcoin karena tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.

Dalam aturan itu, mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah.

Agusman lebih lanjut menjelaskan pemilikan mata uang virtual itu sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat dasar yang mendasari harga mata uang virtual itu serta nilai perdagangan sangat fluktuatif.

Akibatnya, lanjut dia, rentan terhadap risiko penggelembungan serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme sehingga dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat. "Oleh karena itu Bank Indonesia memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak menjual, membeli atau memperdagangkan 'virtual currency'," katanya.

Sebagai otoritas sistem pembayaran, BI melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (prinsipal, penyelenggara 'switching', penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, 'acquirer', 'payment gateway', penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana) dan penyelenggara teknologi finansial di Indonesia baik bank dan lembaga selain bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan "virtual currency" atau bitcoin.

Hal itu telah diatur dalam PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement