REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aceh tidak kekurangan pejuang-pejuang perempuan dalam melawan penjajahan di bumi rencong tersebut. Pada masa Perang Aceh sejumlah pahlawan perempuan muncul seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Teungku Fakinah.
Teungku Fakinah lahir sekitar tahun 1856 M, di Desa Lam Diran Kampung Lam Beunot. Pahlawan ini selain sebagai pangli- ma perang, tapi juga seorang ulama besar waktu itu. Dua hal ini yang membedakan antara Teungku Fakinah dan pahlawan perempuan lainnya.
Dikutip dari buku Wanita Aceh sebagai Negarawan dan Panglima Perang karya A. Hasjmy disebutkan, Teungku Fakinah juga seorang pendidik agama Islam. Sebelum Perang Aceh meletus, dia sudah membangun pesantren. Usai perang, pesantren tersebut kembali dilanjutkan.
Teungku Fakinah menjalankan perannya sebagai panglima perang, ulama dan pendidik Islam dengan baik. Di peperangan, dia menjelma sebagai seorang panglima yang ditakuti dan disegani oleh musuh. Ketika pulang dari perang, dia kembali kepada sosoknya sebagai ulama besar.
Dia berusaha kembali membangun pen- didikan Islam miliknya yang telah porak poranda selama perang berkecamuk. Sosok Teungku Fakinah yang gagah dalam memimpin perang dan bersemangat membangun pendidikan Islam tidak lepas dari ayah dan ibunya.
Dia keturunan ulama dan umara, yaitu ayahnya seorang pejabat tinggi kerajaan dan ibunya putri seorang ulama besar. Sebab itu, tidak mengherankan darah ayah dan ibunya tersebut mengalir kepada Teungku Fakinah sebagai anaknya.
Teungku Fakinah banyak belajar dari ibunya Teungku Fatimah tentang membaca Alquran, ilmu-ilmu Islam dalam kitab-kitab berbahasa Melayu. Selain itu itu, dia belajar kerajinan tangan seperti menjahit, menenun, memasak, dan menyulam.
Sedangkan, dari ayahnya, Datu Mahmud, Teungku Fakinah belajar bahasa Arab, hukum Islam, tasawuf, dan akhlak. Kemudian, dia juga belajar sejarah dan taf sir dari Alquran dan hadis. Teungku Faki nah juga sempat menempuh pendidikan militer jelang pecahnya Perang Aceh.
Di pendidikan militer itu, Teungku Fakinah mengenal seorang laki-laki yang kelak menjadi suaminya. Dia adalah Teungku Ahmad sorang perwira muda dan juga ulama. Keduanya kemudian mengajar di Pusat Pendidikan Islam Dauah Lampucok yang didirikan ayah Teungku Fakinah sebelum perang Aceh pecah.
Pada saat Belanda mulai melakukan agresi ke Aceh di tahun 1873, suami Teungku Fakinah ikut bertempur di medan perang Pantai Cermin yang merupakan tempat Belanda mendarat.Dalam pertempuran tersebut, suami Teungku Fakinah gugur.
Teungku Fakinah kemudian membuat kampanye perang kepada para wanita setelah suaminya gugur dalam perang. Dia kemudian membentuk pasukan dalam tingkat sukey (resimen) yang terdiri dari empat balang (batalion). Teungku Fakinah sendiri menjadi Panglima Sukey yang bernama Sukey Fakinah. Pembentukan tersebut sebelumnya sudah disetujui oleh Sultan.
Dari empat batalion dalam Sukey Fakinah, terdapat satu batalion yang selu ruh praju- ritnya perempuan. Sedangkan, di batalion lain ada juga perempuan yang menjadi pemimpin kawan (kompi) atau sabat (regu).
Keempat balang (batalion) tersebut terdiri dari Balang Kuta Cotweu. Balang ini selu ruh prajuritnya perempuan dengan dipimpin langsung oleh Teungku Fakinah. Di tempat Tengku Fakinah juga dijadikan se bagai markas Sukey Fakinah. Kemudian, Ba lang Kuta Lamsayun dengan komandan Pang Saleh (Teungku Muhammad Saleh). Selain itu, ada Balang Kuta Cotbakgarot yang diko- mandani oleh Pang Ahmad (Teung ku Leupeung, adik dari ibu Teungku Fakinah).
Selanjutnya, Balang yang keempat adalah Balang Kuta Bakbale. Balang ini dipimpin oleh Pang Abdurrahman (Habib Lhong atau Habib Kabul karena nenek moyangnya berasal dari Afghanistan). Selama perang, Teungku Fakinah melakukan pertempuran di berbagai daerah. Dia bertempur di wilayah Aceh Rayek. Setelah sepuluh tahun perang Aceh, dia kemudian ikut bergerilya bersama Sultan Muhammad Daud, Tuanku Hasyim Bangta Muda, Teungku Muhammad Saman Tiro, dan tokoh lainnya di pedala- man Aceh.
Teungku Umar, suami dari Cut Nyak Dhien waktu itu berada di pihak Belanda. Teungku Fakinah kemudian berusaha mengembalikan Teungku Umar kembali bergabung ke pihak Aceh dan berjuang bersama. Teungku Fakinah kemudian mengirim surat kepada Cut Nyak Dhien dan mampu membuat hatinya luluh.
Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Teungku Fakinah meminta agar Cut Nyak Dhien menyuruh suaminya memerangi perempuan-perempuan pasukan Teungku Fakinah. Pasukan Teungku Fakinah siapa menghadapinya.
Mendapatkan surat tersebut, Cut Nyak Dhien dengan cepat berusaha menyadarkan kembali suaminya. Cut Nyak Dhien kemu- dian mengirim utusan dan membawa pesan kepada Teungku Fakinah.Pesan tersebut berbunyi bahwa Cut Nyak Dhien menyadari langkah suaminya yang bergabung dengan Belanda adalah tindakan sesat. Cut Nyak Dhien juga mengirim surat kepada suaminya lewat Pang Abdulkarim, salah seorang ajudan Teungku Umar.
Isi surat tersebut berbunyi Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar bahwa Teungku Fakinah telah siap sedia menanti kedatangan Teuku Umar di Lamdiran (Markas Sukey Fakinah). Sekarang, barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi, pria melawan wanita yang belum pernah terjadi pada masa nenek moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita. Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah dahulu kuperingatkan: jangan- lah menyusu pada badak... tulis Cut Nyak Dhien.
Surat tersebut berhasil menyentuk suaminya dan kemudian kembali ke pihak Aceh. Dia juga pulang dengan membawa per senjataan Belanda yang cukup banyak. Belanda kemudian pergi dari Aceh dan Teungku Fakinah kembali membangun pen- didikan Islam. Teungku mangkat pada 3 Oktober 1933 M.