REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mempertimbangkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelumnya terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). "Persoalan (SKL BLBI) sudah selesai, apalagi BPK pada 2006 merilis LHP (Laporan Hasil Pemeriksa) dikatakan tidak ada kerugian negara," kata pakar hukum tata negara dan ilmu perundang-undangan Prof I Gde Pantja Astawa di Jakarta, Jumat Kemarin.
Pantja mempertanyakan munculnya audit BPK kelima kali yang disebut KPK terdapat potensi kerugian negara akibat penerbitan SKL BLBI untuk Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Padahal menurut Pantja, BPK bersama lembaga pemerintah lainnya dan swasta telah mengaudit empat kali yang menyatakan BDNI kelebihan pembayaran.
Pantja menuturkan KPK tidak dapat mengabaikan hasil audit BPK sebelumnya yang dijamin secara konstitusi berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 karena berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan terhadap BPK. Ahli tata negara Universitas Padjadjaran Bandung itu mencontohkan pengabaian audit BPK juga pernah terjadi pada kasus pengadaan lahan Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta.
Saat itu, KPK meminta BPK mengaudit investigatif terhadap pengadaan lahan RS Sumber Waras yang dinyatakan terjadi potensi kerugian negara namun KPK menyebutkan tidak ada kerugian negara. Sementara itu, praktisi hukum administrasi negara Irman Putra Sidin menganggap kasus penerbitan SKL terhadap debitur BLBI tidak dapat diselesaikan pada ranah pidana. Irman menilai penyelesaian kasus debutir BLBI harus diuji melalui mekanisme peradilan Tata Usaha Negara (TUN) karena kondisinya perkara pidana terikat dengan hukum lain.
Lebih jauh Irman menuturkan penyelesaian kasus terhadap bank atau pemilik bank yang tersangkut kasus BLBI tak dapat dipenjara karena termasuk ke dalam ranah piutang negara sesuai hukum hak asasi manusia (HAM) internasional. Kementerian Keuangan menegaskan akan mengejar 22 obligor BLBI yang belum menyelesaikan kewajiban kepada negara.