Rabu 24 Jan 2018 20:00 WIB

Tekad Kuat Kunci Keberhasilan

Seberapa pentingkah memiliki tekad (himmah) yang kuat bagi seorang Muslim?

Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Tekad kuat menjadi kunci keberhasilan Suatu saat, seseorang pernah bertanya ke pa da Ibnu al-Jauzi. Orang tersebut menanyakan perihal bolehkah ia bersenang-senang dan berhibur sejenak untuk melupakan sementara waktu akan kepenatan hidup? Ibnu al-Jauzi yang dikenal pakar dan piawai itu pun menjawab, “Jangan biarkan dirimu lalai,” kata tokoh yang bernama lengkap Abdurrahman bin Ali bin Mu hammad bin al-Jauzi al-Qu rasyi al- Baghdadi itu.

Demikian juga dengan Ahmad bin Hanbal. Ia memberikan doktrin kepada buah hatinya untuk tetap bertekad kuat dan tidak mudah tergelincir. “Wahai anakku, aku telah berikan komitmen keseriusan dari diriku,” kata pendiri Mazhab Hanbali tersebut. Sang anak pun berbalik bertanya, kapankah ia mesti beristirahat untuk memanjakan diri? Ahmad bin Hambal yang juga pakar hadis itu pun mengatakan, “(Nanti), saat kaki pertama melangkah di surga.”

Seberapa pentingkah memiliki tekad (himmah) yang kuat bagi seorang Muslim? Termasuk juga bercita-cita tinggi? Syekh Hasan bin Sa’id al-Hasaniyah dalam bukunya ber judul Al-Qamam Ya Ahl al-Hi mam memaparkan ada setidaknya empat alasan, mengapa seorang Muslim dituntut mempunyai tekad bulat dan cita-cita mulia.

Alasan pertama yang ia kemukakan ialah bahwasanya setiap manusia diciptakan untuk beribadah ke pada- Nya. Hal ini sebagaimana di tegaskan ayat 56 Surah adz-Dzaariyaat. Dan, beribadah itu tak cukup hanya dengan ritual biasa; selesai begitu saja dengan ditunaikannya ibadah.

Alasan kedua, hidup di dunia ada lah peperangan antara semangat kebajikan dan nafsu angkara. Kedua hal itu saling berlomba untuk mendominasi satu sama lain. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman, sedangkan mereka tidak diuji lagi?” (QS al-Ankabuut [29] : 2). Tanpa tekad kuat, sulit untuk tetap bertahan dan tampil sebagai pemenang.

Alasan ketiga, Islam adalah agama yang menekankan produktivitas dan karya nyata. Sayyid Qutub dalam kitab tafsirnya Fi Dhilal al-Qur an, mengomentari ayat ke-12 dari surah Maryam. Ia mengatakan, atas izin Allah, Nabi Yahya mewarisi tong gak kepemimpinan dan estafet kenabian dari sang ayah, Zakaria. Yah ya AS pun akhirnya menerima tugas tersebut dengan segenap amanat, kemampuan, dan komitmen tinggi. Ia bertekad tidak akan mundur dari kewajibannya itu.

Sedangkan, alasan yang keempat, peradaban ‘pesaing’ Islam senantiasa menunggu generasi muda mereka la lai. Sekejap saja tidak waspada maka dengan mudahnya mereka akan mengubah pola pikir, gaya hidup, dan cara berinteraksi mereka sehari. Dengan demikian, bukan tidak mungkin posisi negara-negara Islam dalam kancah percaturan dunia akan kian terpuruk.

Lantas, bagaimanakah tekad itu bisa mengantarkan seseorang ke puncak kesuksesan? Syekh Hasan bin Sa’id al-Hasaniyah mengutarakan beberapa hal mendasar yang mesti di perhatikan agar tekad itu bisa men jadi kunci keberhasilan. Yaitu keikhlasan. Membersihkan hati dari riak-riak duniawi. “Padahal, mereka tidak disuruh kecuali supaya me nyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. al- Bayyinah [98] : 5).

Kunci berikutnya ialah konsistensi diri. Lurus atau tidaknya sebuah tekad erat kaitannya dengan komitmen dan istikamah. Sulit rasanya, bila seseorang hendak mendaki tangga kesuksesan, sementara pada saat yang sama ia bermasalah dengan kejiwaan dan manajemen personalnya. Inilah, kata Ibnu Katsir dalam kitabnya tafsrinya, yang maksud dari ayat: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu.” (QS al- Maaidah [5] : 105).

Perkara yang tak kalah penting ialah semangat berkompetisi dan ber saing positif dalam hal-hal kebaikan. Dan, bagi seorang Muslim, perlombaan yang utama ialah kompetisi yang menitikberatkan pada tindakan positif. Ibnu Rajab mengatakan, dalam kitab Al-Lathaif, konon ketika para salaf mendengar ayat ke- 148 surah al-Baqarah dan ayat ke-21 surah al-Hadid, mereka bersedih saat mengetahui orang lain telah terlebih dahulu mengerjakan kebaikan.

Tetapi, menurut Ibnu Rajab yang bermazhab Hanbali itu, kondisi saat ini telah berubah. Justru, orang berlomba-lomba dalam sisi negatif dan lebih condong ke dunia. Hasan al- Bashri mengatakan, “Jika engkau melihat orang lain mengunggulimu da lam hal dunia maka saingi dia dengan akhirat.”

Selanjutnya, hal yang bisa dilakukan ialah memotivasi diri dengan berkaca pada prestasi yang sa laf. Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, diketahui setelah meninggal ternyata ia memberi makan para keluarga yang tinggal di 100 rumah sekitar Madinah.

Ada lagi Atha’ bin Rabah yang hidup 100 ta hun dan berhaji 70 kali. Ia membaca 200 ayat Alquran dalam tiap rakaat shalat. Ibnu Hajar al-Asqalani mengarang Fath Al Bari saat berusia 32 tahun. Ada pula Ibnu Aqil yang mengarang lebih dari 800 karya. Jadi, sepatutnya Muslim bertekad kuat.

sumber : Dialog Jumat Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement