REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK BARAT -- Sore itu, seorang pria paruh baya bergegas menuju muara sungai. Saat air surut, bapak tiga anak itu memasang jaring di muara sungai yang kini telah berubah menjadi hutan mangrove.
H Badrun (60), seorang tokoh masyarakat Desa Cendi Manik, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat merupakan satu dari ratusan warga yang memanfaatkan keberadaan hutan bakau sebagai tempat mengais rezeki sampingan.
Hutan bakau yang berada di sejumlah desa di Lombok Barat memberikan manfaat ekonomi karena menjadi daerah pemijahan ikan, rajungan, kepiting dan kerang-kerangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Hutan bakau yang kini banyak ditemukan di muara sungai di Lombok Barat selain memiliki fungsi ekologis juga dapat mencegah bencana alam, seperti angin puting beliung dan banjir rob.
Komitmen masyarakat untuk menghutankan kembali muara sungai dengan menanam pohon bakau mulai membuahkan hasil. Muara sungai di Kecamatan Sekotong yang sebelumnya nyaris tanpa sebatang pohon bakau kini telah berubah menjadi belantara bakau, demikian juga di Kecamatan Lembar.
Beberapa tahun silam, permukiman penduduk di sekitar pesisir pantai di Pulau Lombok, terutama di Kabupaten Lombok Barat dihantui bencana rob akibat penebangan bakau yang tidak terkendali.
Kini setelah muara sungai berubah menjadi hutan bakau, masyarakat di pesisir pantai tak lagi dihantui bencana ketika air pasang tinggi para bulan-bulan tertentu, seperti banjir rob akibat fenomena alam supermoon yang melanda sejumlah daerah beberapa bulan lalu.
Warga pesisir kini telah menikmati berkah keberadaan hutan mangrove. Mereka tak hanya terhindar dari bencana, tetapi juga mendapat manfaat ekonomi.
Para nelayan pesisir pantai Lombok Barat, terutama di Desa Cendi Manik berkomitmen untuk terus menanam pohon bakau di muara sungai dan menjaga kelestarian hutan mangrove.
Awig-awig
Bahkan masyarakar di pesisir pantai Desa Cendi Manik kini menerapkan awig-awig (aturan adat desa) untuk melindungi keberadaan pohon-pohon mangrove di wilayahnya.
Badrun yang juga Ketua Kelompok Sumberdaya Madak Bersatu ini mengatakan di dalam aturan adat yang sudah disepakati dengan para tokoh dari Kecamatan Sekotong, setiap orang yang dengan sengaja mencabut atau menebang satu pohon bakau maka harus menggantinya dengan menanam 100 bibit bakau.
Pemberlakuan awig-awig yang bertujuan untuk melindungi hutan mangrove itu nampaknya cukup berhasil, masyarakat sudah mulai sadar setelah aturan adat itu diterapkan sejak beberapa tahun lalu.
Sementara itu Penanggung Jawab Kegiatan Penanaman Mangrove Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar M Barmawi, mengatakan warga di Kecamatan Sekotong, berkomitmen menanam, merawat dan memelihara hutan bakau yang sudah mereka tanam untuk dimanfaatkan agar kesejahteraan mereka menjadi lebih baik.
BPSPL Denpasar bersama masyarakat pesiri di Kecamatan Sekotong sudah menanam sebanyak 120.000 bibit pohon bakau bersama masyarakat dan mereka berkomitmen merawat tumbuh besar, termasuk yang sudah ditanam secara mandiri sejak beberapa tahun lalu.
Jika ekosistem mangrove sudah pulih, menurut Barmawi, akan mengembalikan fungsi hutan bakau sebagai pelindung fisik dari ancaman abrasi dan erupsi dari daratan.
Selain itu, kawasan hutan mangrove di sekita Pelabuhan Lembar akan menjadi lokasi pemijahan anak-anak ikan karena di daerah itu akan banyak sumber makanan, sehingga disukai oleh jenis ikan, lobster dan kepiting serta kerang-kerangan.
Dampak lain pulihnya ekosistem hutan bakau adalah bisa menjadi kawasan objek wisata dan edukasi yang bisa mendatangkan rezeki bagi masyarakat di sekitarnya.
Ekowisata
Kelompok Masyarakat Pengelola Ekowisata Mangrove (Pokmaslawisma) Bagek Kembar, Desa Cendi Manik telah menyadari bahwa hutan mangrove telah menjadi kawasan ekowisata mangrove seluas 15 hektare untuk menarik minat wisatawan.
Menurut Barmawi, kini belasan hektare kawasan pesisir yang ditanami mangrove sudah menjadi destinasi wisata baru.
Upaya memperbanyak tanaman mangrove terus dilakukan. Masyarakat juga memanfaatkan tambak-tambak nonproduktif dengan program adopsi mangrove pada 2016. Sebanyak 5.000 batang bibit mangrove sudah ditanam.
Pemanfaatan tambak tidak produktif mengadopsi sistem "silvofishery". Pola tersebut inisiasi dari kelompok yang sifatnya swadaya dan sukarela dari masyarakat umum.
Dia mengakui karena masih kawasan wisata baru, menurut Barmawi, tingkat kunjungan wisatawan masih sporadis dan belum terdata dengan baik.
Oleh sebab itu, BPSPL Denpasar Wilayah Kerja NTB bersama Pokmaslawisma Bagek Kembar terus melakukan pembenahan. Salah satunya menambah sarana wisata beruga dua gazebo atau saung dan dua unit kano sebagai sarana permainan bagi pengunjung untuk menjelajah tambak yang sudah ditumbuhi bakau.
Kawasan mangrove tersebut juga menjadi lokasi wisata edukasi bagi para pelajar, mahasiswa dan para peneliti serta pemerintah daerah.
Meskipun sudah menjadi destinasi wisata, dampak ekonomi bagi masyarakat masih belum signifikan karena belum ada payung hukum untuk menarik retribusi dari pengunjung.
Untuk sementara ini, kata Barmawi, masyarakat hanya memperoleh manfaat ekonomi dari usaha kuliner kepiting bakau dan jenis ikan laut lainnya. Selain itu, penjualan kelapa muda dan nasi bungkus jika ada even yang menghadirkan banyak pengunjung.