Kamis 08 Feb 2018 11:54 WIB

Polisi AS Memata-matai Muslim dan Warga Afrika-Amerika

Polisi Boston memata-matai ribuan unggahan media sosial.

Rep: Marniati/ Red: Ani Nursalikah
Seorang petugas polisi di lokasi baku tembak, Watertown, Boston barat, Amerika Serikat.
Foto: REUTERS/Brian Snyder
Seorang petugas polisi di lokasi baku tembak, Watertown, Boston barat, Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON -- Sebuah laporan dari American Civil Liberties Union (ACLU) menyebutkan polisi di kota Boston, Amerika Serikat (AS) secara tidak adil memata-matai ribuan unggahan media sosial. Mereka menargetkan Muslim dan warga Afrika-Amerika secara khusus untuk berada di bawah pengawasan.

Dilansir Aljazirah, Kamis (8/2), CLU Massachusetts mengatakan Departemen Kepolisian Boston (BPD) menggunakan sistem pengawasan online, Geofeedia sejak 2014 sampai 2016 untuk memantau komentar di media sosial mengenai topik termasuk politik dan agama. "BPD memperlakukan warga biasa yang mendiskusikan urusan biasa sebagai sasaran pengawasan yang dapat dibenarkan," kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan.

Organisasi hak-hak sipil mengatakan BPD secara tidak adil memusatkan pengawasannya pada orang-orang Amerika dan Muslim Afrika dengan membuat peringatan online untuk penggunaan kata-kata Arab yang tidak berbahaya dan tagar #BlackLivesMatter dan #MuslimLivesMatter.

Aktivis telah menggunakan tagar #BlackLivesMatter untuk mengecam kebrutalan polisi yang menargetkan orang-orang Afrika-Amerika. Tagar #MuslimLivesMatter digunakan untuk menarik perhatian pada islamofobia setelah tiga siswa Muslim terbunuh dalam penembakan di North Carolina pada 2015.

photo
Muslim Amerika melaksanakan shalat di salah satu masjid di Kota New York.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh melalui permintaan catatan publik, laporan ACLU mengatakan polisi memperlakukan orang-orang sebagai sesuatu yang mencurigakan berdasarkan ras, agama dan etnis mereka. "Catatan menunjukkan kebutuhan yang jelas baik untuk transparansi maupun pengamanan prosedural untuk memastikan jenis perangkat lunak ini tunduk pada pengawasan publik dan pengawasan terus-menerus sebelum digunakan kembali," kata kelompok tersebut.

BPD menuduh ACLU keliru dalam menyimpulkan tuduhan tersebut. Menurut BPD, program pengawasannya membantu polisi memantau kejadian dan demonstrasi yang berpotensi berubah menjadi kekerasan.

"Fokus utama kami dalam semua ini adalah keamanan publik, tidak menargetkan pidato, tidak menargetkan afiliasi politik orang-orang," kata Letnan Detektif Michael McCarthy kepada wartawan.

ACLU telah meminta BPD mengubah kebijakan privasinya setelah laporan tersebut dikeluarkan. Kelompok tersebut mengatakan pengawasan berdasarkan ras, agama atau etnis harus dilarang, kecuali dalam kasus di mana petugas penegak hukum memiliki alasan yang kuat seseorang telah melanggar hukum.

Pada awal 2017, BPD menarik permintaan dana sebesar 1,4 juta dolar AS untuk sistem pengawasan media sosial baru setelah mendapat tentangan luas dari kelompok hak-hak sipil.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement