REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Liga yang dipenuhi dengan aliran-aliran yang berbeda itu mampu merumuskan program dan kegiatan yang tak jarang berseberangan dengan otoritas resmi Kerajaan Arab Saudi.
Liga Dunia Islam (World Islamic League) adalah organisasi Islam transnasional merupakan sebuah organisasi budaya Muslim dan organisasi umat Islam yang melayani seluruh umat dan tidak bertindak sebagai agen pemerintah manapun. Layanan yang diberikan kepada masyarakat tersebut meliputi berbagai bidang, mulai dari pendidikan, sosial keagamaan, ekonomi, juga kesehatan.
Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, organisasi ini berdiri pada 18 Mei 1962 saat krisis politik memuncak antara Mesir dan Arab Saudi. Deklarasi organisasi ini diprakarsai oleh 111 ilmuwan, intelektual, dan politikus Muslim.
Pertemuan yang berlangsung di Makkah itu membahas berbagai persoalan, terutama menyikapi ancaman dari “komunisme” secara umum dan propaganda oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang cenderung memarginalkan agama. Pertemuan lintas negara itu pun menyepakati deklarasi Liga Dunia Islam, “Rabtihah al-Alam al-Islami”.
Liga yang bermarkas di Makkah itu awalnya digawangi oleh majelis anggota. Konferensi di Makkah memutuskan, memilih 21 ilmuwan, intelektual, dan bangsawan sebagai anggota majelis. Persidangan perdana digelar pada Desember 1962. Jumlah tersebut terus meningkat hingga mencapai angka 60 pada 1990.
Dari segi corak ideologi dan teologi yang diusung, komposisi ulama yang duduk di majelis menunjukkan empat ideologi dan teologi utama Islam kontemporer. Majelis diketuai oleh mufti besar Arab Saudi Muhammad bin Ibrahim Alu as-Syekh. Ini untuk memastikan kendali minimum dari Wahabi. Di antara delapan ilmuwan, terdapat Abulhasan Ali an-Nadvi dari Lucknow, India, yang mewakili Salafi klasik. Terdapat pula nama Abu al-A’la al-Maududi dari Pakistan.
Proporsi perwsakilan ini dipertahankan sejak pendirian Liga. Sesuai dengan itu, ilmuwah Wahabi Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengambil alih kursi kepresidenan majelis anggota setelah mufti besar wafat. Sementera, kendali administrasi Liga dipegang oleh para intelektual asal Hijaz.
Tak dapat dimungkiri, di satu sisi Liga bertindak sebagai corong pemerintah Arab Saudi. Karena, sejak awal pendanaan Liga, berasal dari pelayan dua Tanah Haram tersebut. Tapi, ini bukan berarti Liga sepenuhnya dibawah kendali pemerintah. Justru, acap kali Liga yang dipenuhi dengan aliran-aliran yang berbeda itu mampu merumuskan program dan kegiatan yang berseberangan dengan otoritas resmi Kerajaan.
Pada 1970-an, Liga secara bertahap memperluas kegiatannya dalam bidang koordinasi, dakwah, yurisprudensi, dan kesejahteraan sosial. Pada 1974, Liga mengundang 140 delegasi ke Konferensi Organisasi Islam dan memutuskan untuk mendirikan majelis di tiap benua, majelis Islam lokal di 28 komunitas Muslim minoritas, dan komite koordinasi.
Pada 1975, Liga membentuk Dewan Masjid Dunia. Dewan ini bertugas untuk mengoordinasi kegiatan dakwah serta mengatur beberapa dewan masjid regional dan lokal. Pada tahun berikutnya, Liga juga membentuk majelis yurisprudensi, Akademi Fikih, dan terakhir Organisasi pembebasan Islam Internasional.