REPUBLIKA.CO.ID, Jejak-jejak ulama Nusantara banyak berserakan di Timur Tengah dalam bentuk kitab-kitab atau naskah-naskah tentang kajian-kajian keislaman. Juga buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan eksak seperti ilmu matematika, astronomi dan lain sebagainya. Naskah-naskah tersebut merupakan karya-karya intelektual warisan peradaban.
Saat ini naskah-naskah tersebut tersimpan dan tercecer di beberapa perpustakaan dan museum yang ada di Timur Tengah. Keberadaan naskah-naskah ulama Nusantara yang ada di Timur Tengah dinilai sangat penting. Keberadaan naskah-naskah tersebut membuktikan perkembangan Islam yang terjadi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari arus utamanya yang terjadi di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah.
Penulis Buku Mahakarya Islam Nusantara, A Ginanjar Sya'ban mengatakan, dulu para ulama Nusantara menjadi agen-agen perubahan, mereka belajar di Timur Tengah. Ketika mereka pulang ke tanah air, mereka menjalankan gerakan-gerakan keislaman dan sosial kemasyarakatan di Indonesia.
Menurutnya, perkembangan agama, wacana, pemikiran dan gerakan di Indonesia, tidak bisa dilepaskan hubungannya dari pusat yang ada di Makkah dan Madinah. Perlu diketahui, ulama-ulama Nusantara juga banyak yang menjadi pengajar di Makkah dan Madinah.
"Ulama-ulama yang dari Nusantara itu dulu banyak yang menjadi aktor utama, bukan hanya menjadi aktor utama di Nusantara tetapi di Makkah dan Madinah juga," kata A Ginanjar kepada Republika.co.,id di Perpustakaan Nasional usai diskusi tentang Naskah-naskah Nusantara di Timur Tengah, Rabu (7/1).
Dia menerangkan, puluhan ulama dari Nusantara mengajar di Masjidil Haram, Makkah. Murid-murid mereka bukan hanya berasal dari Nusantara, tetapi dari berbagai bangsa. Artinya, dulu ulama dari Nusantara menjadi penentu arus wacana keislaman dunia. Mereka juga menjadi aktor dan penulis kitab. Sehingga beberapa ulama dari bangsa-bangsa lain banyak yang merujuk kepada ulama-ulama dari Nusantara.
Memang awalnya ulama dari Nusantara belajar dulu di Makkah dan Madinah. Kemudian para ulama Nusantara harus lulus ujian dari ulama-ulama senior di sana. Ketika mereka dinyatakan lulus oleh ulama-ulama seniornya, mereka memiliki syarat untuk mengajar di sana.
"Dulu orang Nusantara banyak mempengaruhi wacana keislaman, sekarang arusnya berbalik wacana yang berkembang di Timur Tengah banyak terimpor ke Indonesia," ujarnya.
Sejarawan dan Penulis Buku Masterpiece Islam Nusantara, Zainul Milal Bizawie juga menyampaikan, sejak era Wali Songo sudah banyak ulama Nusantara yang pergi ke wilayah Timur Tengah. Hampir semua wali juga belajar ke wilayah Timur Tengah. Pada abad ke-18 dan abad ke-19 semakin banyak ulama Nusantara yang belajar ke wilayah Timur Tengah.
Bahkan, pada abad ke-19, banyak ulama-ulama Nusantara yang menjadi Imam di Masjidil Haram, Makkah dan Madinah. Jadi banyak sekali ulama Nusantara di Timur Tengah. "Syeikh Nawawi Al-Bantani menjadi seorang mahaguru yang menjadi Imam Masjidil Haram," ujarnya.
Pada abad ke-17, Abdurrauf As-Singkili dari Aceh menulis sebuah kitab Tarjuman al-Mustafid. Setelah itu ada Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani menulis buku Nasihatul Muslimin. Karya mereka sangat luar biasa, apalagi Syeikh Nawawi Al-Bantani banyak sekali karyanya.
Dia menerangkan, Syeikh Mahfudz at-Tarmasi juga membuat kitab yang berjilid-jilid, kitabnya masih menjadi referensi para pelajar di Timur Tengah. Syeikh Yusuf dari Makassar melahirkan beberapa kitab, dia pernah sampai ke Afrika. Sekarang masih dikaji kitab-kitabnya di Afrika.
"Kini, kitab-kitab karya para ulama Nusantara masih dipelajari di sejumlah daerah di Indonesia, Timur Tengah, bahkan di Afrika," ujarnya.
Menurutnya, naskah-naskah ulama Nusantara tidak hanya berbicara tentang keislaman. Ada juga naskah-naskah yang mengajarkan ilmu sains, fikih, hukum, matematika, falak, astronomi dan lain-lain. Naskah-naskah tersebut bisa sangat bermanfaat untuk masyarakat sekarang.
Masyarakat sekarang tinggal meneruskan, menyesuaikan naskah-naskah tersebut dengan temuan-temuan terbaru. Tapi, karena masyarakat umum masih banyak yang belum tahu tentang naskah-naskah tersebut. Maka perlu disosialisasikan terus menerus. Sehingga masyarakat Indonesia sekarang bisa bangga dan muncul rasa kebangsaannya. Kemudian dapat memicu semangat untuk meniru ulama Nusantara zaman dulu.
Komunitas masyarakat musantara di Makkah
A Ginanjar menceritakan, pada awal abad ke-16, ada seorang pelancong dari Italia. Ketika pelancong tersebut berkunjung ke Makkah, dia menemukan orang-orang dari Nusantara telah hidup dan tinggal di sana. Tapi data-data sejarah yang jelas mulai banyak pada awal abad ke-17. Bukan hanya catatan dari luar negeri yang mengatakan ada orang Indonesia di Makkah dan Madinah.
"Ulama Madinah sendiri menulis buku untuk merespon pertanyaan orang Nusantara yang belajar di sana," ujarnya.
Ia menerangkan, ada lagi catatan seorang perwira Rusia pada tahun 1889. Perwira Rusia tersebut datang ke Makkah untuk mensensus penduduk Makkah. Diketahui jumlah penduduk Makkah mencapai sekitar 80 ribu jiwa, sebanyak 16.000 di antaranya orang-orang dari Nusantara. Orang-orang Nusantara dianggap menjadi koloni non Arab terbesar yang ada di Makkah.
Orang-orang Nusantara yang ada di Makkah punya keistimewaan dibanding orang-orang dari bangsa lain. Sebab, mayoritas orang-orang Nusantara di Makkah berasal dari kalangan intelektual, artinya mereka para pelajar. Berbeda dengan orang-orang dari bangsa lain yang bekerja dan berdagang di Makkah.
"Kalau mereka (orang Nusantara) tidak jadi pelajar, orang Nusantara jadi saudagar, dulu orang Nusantara masih kaya-kaya," jelasnya.
Menurutnya, ada satu kajian yang ditulis forum-forum intelektual di Makkah. Pada abad ke-19 dan abad ke-20, menurut mereka komunitas terbesar di Masjidil Haram adalah penganut Mazhab Syafi'i. Luar biasanya sebanyak 60 persen pengajar dari unsur syafi'i di Masjidil Haram berasal dari Nusantara. Karena mereka banyak menulis karya-karya keilmuannya dalam Bahasa Arab.
A Ginanjar melanjutkan penjelasannya, Snouck Hurgronje dalam laporannya tentang Makkah pada tahun 1885 menginformasikan hal yang sama dengan perwira dari Rusia. Pada tahun 1883 teknologi mesin cetak masuk ke Makkah dari Pemerintahan Ustmani di Istanbul.
Mesin cetak tersebut merupakan salah satu fasilitas yang diberikan Pemerintah Ustmani kepada Makkah. Melalui mesin cetak tersebut, diterbitkanlah buku-buku dalam Bahasa Arab, Persia, Turki dan Melayu. Penggunaan Bahasa Melayu menunjukan masyarakat Nusantara menjadi entitas penting di Makkah pada masa itu.
"Ini menunjukan orang Nusantara yang ada di sana sebagai entitas yang penting, sehingga pemerintah mengakomodasi ketersediaan kitab dalam bahasa mereka (Bahasa Melayu)," ujarnya.
Akan tetapi, naskah-naskah ulama Nusantara di Timur Tengah kurang diketahui masyarakat umum di Indonesia. Sebab memang naskah-naskahnya jauh tersimpan di Timur Tengah jadi sulit dijangkau. Selain itu, faktor bahasa juga mempengaruhi, dan hanya sedikit yang menjadi ahli filologi di Indonesia.