REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama tiga bulan berturut-turut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan enam kepala daerah sebagai tersangka korupsi. Terkini, penyidik KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Bupati Subang Imas Aryumningsih pada Rabu (14/2) dini hari.
KPK menetapkan Bupati Subang Imas Aryumningsih dan tiga lainnya sebagai tersangka suap perizinan pendirian pabrik di lingkungan Pemerintah Kabupaten Subang, Jawa Barat. "KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan empat orang tersangka," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan di Gedung KPK Jakarta, Rabu (14/2).
Adapun tiga tersangka lainnya adalah Kabid Perizinan Pemkab Subang Asep Santika dan dua pihak swasta bernama Miftahhudin dan Data. Imas yang juga mencalonkan diri menjadi calon Bupati Subang dalam Pilkada Serentak 2018 itu diduga menerima fee terkait pengurusan izin pabrik yang diajukan dua perusahaan yaitu, PT ASP dan PT PBM.
KPK menduga Miftahhudin memberikan uang kepada Imas, Asep, dan Data. Uang tersebut diberikan agar Imas memberikan izin pembangunan pabrik senilai Rp 1,4 miliar. Menurut Basaria, pemberian suap dilakukan melalui orang-orang dekat Bupati yang bertindak sebagai pengumpul dana.
Adapun, dalam melancarkan usahanya itu, digunakan kode: 'Itunya'. "Dalam komunikasi pihak-pihak terkait dalam kasus ini, digunakan kode 'itunya' yang menunjuk pada uang akan diserahkan," kata Basaria.
Diketahui, dalam operasi senyap yang dilakukan pada Selasa (13/2) malam, tim KPK menyita uang sebesar Rp 337.378.000 yang berasal dari beberapa orang. Menurut Basaria, total commitment fee awal antara pemberi dengan perantara adalah Rp 4,5 miliar. "Sedangkan dugaan commitment fee antara bupati ke perantara adalah Rp 1,5 miliar," ucap dia.
Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menuturkan, operasi senyap dilakukan sejak Selasa (13/2) malam. Hasilnya, KPK meringkus Bupati Subang, seorang kurir, pihak swasta, dan unsur pegawai setempat.
Delapan orang yang diringkus tersebut, kata Febri, langsung dibawa ke kantor KPK untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. KPK diberi waktu maksimal 24 jam untuk penentuan status pihak-pihak yang diamankan tersebut.
Penangkapan kali ini adalah yang ketiga kalinya sepanjang Februari 2018 ini. Sejak awal tahun ini, atau dalam dua bulan belakangan, sudah lima kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Tiga di antaranya terjerat operasi tangkap tangan dalam bulan ini.
Jelang pilkada
Sebelum Imas Aryumningsih, KPK telah menangkap Bupati Jombang Suharli Wihandoko pada 3 Februari 2018 terkait kasus kutipan dana dari puluhan puskesmas di Jombang. Sementara pada 11 Februari lalu, KPK juga menangkap Bupati Ngada Marinus Sae dengan dugaan motif penyuapan guna biaya pencalonan Pilkada NTT 2018.
Imas yang merupakan kader Partai Golkar sebelumnya telah ditetapkan sebagai calon bupati Subang oleh KPU. Ia diusung Partai Golkar dan PKB.
Demikian juga, Nyono yang mencalonkan diri dalam Pilkada Jombang 2018 melalui sokongan Golkar, partai tempat ia bernaung, bersama PKB, PKS, Nasdem, dan PAN. Sedangkan, Marinus Sae mendaftarkan diri dan akhirnya ditetapkan sebagai calon gubernur pada Pilkada NTT 2018 dengan dukungan PDIP dan PKB.
Jumlah yang tertangkap ataupun dijadikan tersangka sejak awal tahun ini sudah mencapai separuh dari seluruh kepala daerah yang dijadikan tersangka oleh KPK sepanjang 2017 lalu. Sejak 2004, atau saat KPK mulai berdiri, 78 kepala daerah terlibat kasus korupsi yang terdiri atas 12 gubernur dan 66 bupati/wali kota.
Jumlah terkini menggenapi deretan tersebut menjadi 84 orang. Dari jumlah itu, sedikitnya 39 atau nyaris separuh di antaranya ditangkap sepanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo alias selama tiga tahun terakhir.
Menjelang pilkada serentak 2018, pihak KPK menilai ada urgensi guna menyetop kasus korupsi di daerah. "Saya kira ini kasus yang sekian, seharusnya tidak ada kasus baru lagi. KPK tidak perlu melakukan OTT kalau memang para calon kepala daerah memiliki komitmen tidak menerima sejumlah uang, terutama incumbent (pejawat)," kata Febri, kemarin.
Ia mengharapkan, penangkapan-penangkapan belakangan juga menjadi pesan bagi peserta pilkada serentak 2018 bahwa proses demokrasi harus bebas dari korupsi. Febri melanjutkan, untuk mewujudkan proses demokrasi yang dijalankan secara bersih, butuh peran dari semua pihak.
Pasalnya, semua institusi memiliki kewenangan berbeda-beda. "Agar proses pilkada demokrasi menghasilkan kepala daerah bersih dan tidak lagi mengulangi kekeliruan kepala daerah sebelumnya yang akhirnya diproses oleh KPK," tuturnya.
Sangat disayangkan
Terkait maraknya penangkapan terhadap para kepala daerah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan terpukul. Terlebih, tiga kepala daerah yang tertangkap merupakan pejawat yang bakal maju bersaing dalam pilkada serentak 2018.
"Dengan banyaknya OTT saya merasa terpukul, juga sedih dan prihatin," ujar Tjahjo dalam keterangan resminya, Rabu (14/2). Dia menegaskan, seharusnya kepala daerah paham akan area rawan korupsi.
Tjahjo mengingatkan bahwa setiap saat pejabat lengah terhadap godaan, maka dia akan terjerat hal-hal barbau korupsi. Kepada para kepala daerah dan kepala daerah pejawat yang saat ini menjalani proses hukum akibat kasus korupsi, Tjahjo meminta semua kooperatif dalam penyidikan KPK.
"Apa pun asas praduga tidak bersalah dikedepankan. KPK sendiri dalam fungsi pencegahan sudah selalu mengingatkan juga kepada Kemendagri dan pemerintah provinsi, kabupaten, kota, hingga desa," ujar Tjahjo. (Pengolah: fitriyan zamzami).