REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi dan Pendidikan Hak Asasi Manusia (Pusdikham) Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Maneger Nasution menilai, orang yang mempublikasikan atau mengampanyekan kondom sebagai alat untuk menghindari HIV/AIDS, memang perlu dikenakan pidana. Pemidanaan tersebut perlu diatur di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Maneger, anggapan kondom sebagai solusi mengatasi persoalan seks bebas yang berdampak pada HIV/AIDS, itu keliru. "Kondom bukan jawaban untuk mengatasi persoalan seks bebas, itu yang keliru. Jawabannya bukan itu. Tapi adalah memperkuat ketahanan keluarga, dan membatasi orang melakukan itu (seks bebas) dengan bermacam cara," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (16/2).
Persoalan seks bebas harus diperbaiki dari hulu, bukan dengan memberikan kondom. "Karena itu, kalau masih ada orang yang menyederhanakan masalah, misalnya dengan membolehkan pergaulan bebas asal pakai kondom, nah orang yang membuat kampanye itu memang harus dipidana," tutur dia.
Lain halnya jika kondom itu digunakan untuk mencegah kehamilan bagi keluarga berencana. Tujuan penggunaan kondom seperti ini tentu patut didorong. Dalam kondisi inilah, menurutnya, penjualan kondom memang harus lebih selektif. Misal dari sisi siapa yang beli, dan tempat penjualan.
"Tidak seperti sekarang, seperti beli kacang goreng, anak-anak juga bisa beli. Jadi maksud pembuat undang-undang adalah bagaimana mengatur di mana orang boleh menjual dan siapa saja yang harus beli. Kalau dibebaskan begitu saja apalagi kalau di tempat public service, maka sama saja dengan masyarakat Barat yang sudah permisif dengan pergaulan bebas," ucapnya.
Seperti diketahui, pasal 481 di dalam draf RKUHP hasil rapat pemerintah dan DPR 10 Januari 2018, menyebutkan setiap orang yang tanpa hak dan tanpa diminta secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk mencegah kehamilan, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.