REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanda berwarna merah di rumah ulama dan masjid diduga bermotif menimbulkan kekacuan dan ketegangan. Dengan begitu, kebenaran jadi tersembunyi.
Pakar Semiotik Acep Iwan Saidi menjelaskan, untuk kasus-kasus seperti ini, motifnya adalah membuat kekacauan. Tanda merah itu, kata dia, maksudnya agar tafsir publik mengarah ke satu ideologi tertentu. "Isu ini, seperti juga soal intoleransi, Pancasila, keberagaman, dan yang lain adalah jualan laris politik kekacauan," ujarnya, Kamis (22/2).
Masa ini adalah era antagonisme, di mana semua menjadi tidak jelas, samar, dan segala sesuatu diputuskan dari referensi dan akal sehat. Tujuannya untuk menciptakan ketegangan terus-menerus. Acep menilai, sedikit banyak era ini memiliki kemiripan dengan era 1960-an.
''Sekarang mungkin lebih parah dalam konteks penciptaan kebisingannya. Semakin bising, kebenaran akan semakin tersembunyi,'' ungkap Acep melalui pesan aplikasi daring kepada Republika.co.id.
Pada 1960-an, konflik lokal terjadi dalam lingkaran nasionalisme, agama, dan komunisme (nasakom). Di atasnya, pada tararan global, sedang berperang dua ideologi besar sosialis-komunis versus liberalis-kapitalis. Sekarang sendiri sedang terus diperhadapkan antara nasionalis-agama dan komunis jadi mainan di tengahnya.
''Saya pikir, di atas semua itu juga bermain kepentingan politik global,'' kata Acep. Di tingkat ini, masyarakat melihat sekarang komunis yang kapitalis dan kapitalis yang komunis. Itulah antagonisme, peleburan yang membuat semua tidak jelas dan itu bagian dari perang global. Indonesia, seperti dulu, hanya menjadi tempat bertempur, jika tidak mau disebut korban.
Soal apakah masyarakat dan pemerintah Indonesia menyadari perang global yang memakai Indonesia sebagai area tempur, Acep menilai, umumnya masyarakat tidak sadar sementara pemerintah dari dulu selalu sibuk sendiri.
Agar dasar semua kebisingan ini bisa dilihat jernih, Acep menyatakan pilihannya adalah melawan dengan diam. ''Sekarang yang mahal dan susah itu diam. Kata Nabi SAW, cukuplah dianggap pembohong orang yang selalu mengatakan setiap apa yg didengarnya. Untuk konteks sekarang, mengatakan bisa identik dengan gampang ngeshare,'' ungkap Acep.
Sebelumnya, dalam waktu berdekatan akhir pekan lalu, dinding kediaman Habib Alwi bin Muhammad di Bekasi dan tiang dinding sisi kiri Masjid At Taqwa Babelan, Bekasi ditemukan coretan berwarna merah. Sebelum itu, penyerangan terhadap sejumlah ulama juga terjadi dan para pelakunya dinilai sebagai orang dengan gangguan jiwa.
Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri meminta masyarakat untuk tidak terprovokasi bahkan memprovokasi kabar kekerasan terhadap pemuka agama yang marak belakangan ini. Dari penyelidikan, Bareskrim Mabes Polri sudah mengelompokkan para penggoreng isu teror terhadap pemuka agama yakni yang menyebarkan kabar palsu penculikan ulama dan yang menghina tokoh agama.
Berdasarkan data yang dimiliki Bareskrim Mabes Polri, sudah ada 21 peristiwa kekerasan terhadap pemuka agama. Di Aceh, Banten, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, masing-masing kota itu terjadi 1 peristiwa. Sementara Jawa Timur sebanyak 4 peristiwa dan Jawa Barat yaitu 13 peristiwa. Bareskrim Mabes Polri menyatakan seluruh peristiwa itu murni kriminal biasa dengan beragam motif.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook