REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakikat bertawakal adalah berusaha sekuat mungkin, kemudian menyerahkan segala hasilnya kepada Allah SWT. Seekor burung tidak pernah cemas dengan rezekinya. Ia berangkat dari sarangnya untuk mencari rezeki, kemudian pada sore harinya ia sudah pulang dengan perut kenyang.
Bahkan, ia pun membawa bekal untuk anak-anaknya yang menunggu di sarang. Apakah pernah burung tersebut mati kelaparan? Tentu tidak karena Allah-lah yang menjamin rezekinya.
Burung juga tak pernah stres memikirkan rezekinya. Tak pernah ada seekor burung yang gantung diri karena tak mendapat rezeki. Tidak seperti manusia yang panik karena gaji sedikit, membeli susu anak, uang sekolah anak, dan lain sebagainya. Alangkah indahnya hidup seperti burung.
Tidak ada seekor burung pun yang galau karena tidak dapat makan. Namun manusia tidak sedikit yang putus asa bahkan memilih jalan bunuh diri karena peliknya hidup.
Tawakal layaknya burung juga dijanjikan surga dari Allah SWT. Seperti hadis dari Abu Hurairah RA, “Akan masuk surga suatu kaum jika hati mereka seperti hati burung,” (HR Muslim).
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul ‘ulum wal Hikam menyatakan hadis ini sebagai dasar dalam bertawakal. Hakikat dari ibadah, yaitu menyerahkan dan mengembalikan segala urusan kepada Allah. Seperti makna “inabah” yang terkandung dalam surah al-Fatihah ayat 5, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” Artinya, seorang hamba sudah semestinya menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT.
Itulah makna dari tawakal. Seperti didefinisikan Ibnu Rajab, tawakal adalah hati benar-benar bergantung kepada Allah dalam rangka memperoleh maslahat dan menolak mudarat dari urusan-urusan dunia dan akhirat.