REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in pada Kamis (1/3) menegaskan bahwa penggunaan wanita penghibur oleh Jepang di masa perang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Presiden Moon mengatakan negara tersebut tak berhak menyatakan bahwa persoalan itu dianggap selesai begitu saja.
Pernyataan keras Moon Jae-in tersebut disampaikan pada pidato peringatan perlawanan Korea terhadap penjajahan Jepang. "Sebagai pelaku kejahatan, Pemerintah Jepang tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa "masalah itu selesai". Kejahatan terhadap kemanusiaan saat perang tidak bisa disembunyikan di bawah tikar dengan menyatakan 'selesai'," kata Moon.
Pernyataan keras Moon tersebut langsung menimbulkan reaksi dari Pemerintah Jepang. Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga menggambarkan pernyataan Moon tersebut sebagai komentar yang "sangat disayangkan".
Suga, yang berbicra dalam sebuah keterangan pers rutin, sebaliknya meminta agar Korea Selatan dan Jepang mempererat kerja sama untuk mengatasi ancaman program nuklir Korea Utara.
Jepang dan Korea Selatan memiliki sejarah pahit, terutama selama pendudukan Jepang pada 1910-1945 di Semenanjung Korea dan menggunakan istilah "wanita penghibur" sebagai bahasa halus untuk para wanita Korea yang dipaksa bekerja sebagai pelacur di rumah bordil saat perang.
Jepang sudah menyampaikan permintaan maaf dan menyediakan dana sebesar 9,4 juta dolar AS sebagai bantuan bagi wanita korban dalam sebuah kesepakatan pada 2015 dengan pemerintahan sebelumnya. Tapi pihak Korea Selatan baru-baru ini menyatakan bahwa mereka ingin meninjau kembali masalah tersebut.
"Detil dari kesepakatan sudah disetujui oleh Korea Selatan maupun Jepang dan keinginan untuk meninjau kembali masalah itu tidak bisa diterima dan sangat disesalkan," kata Suga.
Moon, yang berbicara di lokasi bekas penjara dimana para pejuang Korea Selatan dihukum oleh tentara Jepang, menyatakan bahwa Korea Selatan tidak bermaksud untuk mencari-cari "perlakuan khusus" dari Tokyo.
Namun, ia berharap pihak Jepang juga mencari refleksi diri secara lebih tulus dan "menghadapi keadilan dan kenyataan sejarah dengan hati nurani". Jepang sudah menyampaikan keberatan secara resmi pada Senin lalu setelah menteri luar negeri Korea Selatan menyampaikan isu tersebut di forum PBB dan mengingatkan bahwa hal itu jangan sampai merusak hubungan bilateral pada saat krisis yang terjadi di Asia Timur.
Pada Februari lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe kembali menyatakan keberatan Tokyo untuk merevisi kesepakatan 2015 dan mengatakan kepada Moon bahwa kesepakatan tersebut berisi janji antara kedua negara berdasarkan hubungan dua arah.
Moon mengatakan bahwa Korea Selatan menganggap Jepang sebagai tetangga paling dekat dan berharap bisa melangkah lebih jauh ke arah yang lebih baik bersama-sama. "Saya berharap Jepang secara tulus berekonsiliasi dengan negara tetangga yang telah mereka lukai, memunculkan jalan menuju perdamaian dan kemakmuran," katanya.