REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Salah satu simbol arsitektur Islam tradisional yang masih dibangun hingga kini adalah menara masjid. Meski, di beberapa tempat menara bukan menjadi ciri sebuah masjid jami.
John Esposito menulis, kekhasan bentuk dan profil menara menunjukkan dinasti dan praktik regional yang khas pula. Di area kompleks bersejarah, gaya menara yang berbeda menunjukkan rentetan sejarah dari suatu tempat. Menara yang tinggi dan berbentuk segi empat dengan lengkungan ornamental dan kisi-kisi menunjukkan kehadiran kekuasaan Al Muwahhidun pada abad ke-12 di kawasan Maghrib bagian barat ataupun jazirah Iberia.
Sementara itu, menara dengan bagian luar yang spiral di Masjid Ahmad bin Thulun mempertalikan struktur itu dengan menara berspiral yang didirikan para khalifah Abbasiyah di Samarra pada abad ke-19. Bentuk dasar menara yang terdapat di mana-mana, yakni runcing dengan batang lingkaran. Ada di seluruh Turki, Irak, Iran, Afghanistan, India, Pakistan, dan Uzbekistan.
Dinasti-dinasti yang berkuasa memodifikasi proporsi bentuk dasar ini. Para khalifah mendiversifikasi proporsi bentuk dasar menara. Mereka memvariasi jumlah balkon hingga penempatannya. Bahan dasar dan ornamentasi permukaan juga mengalami perubahan. Menara Shafawiyah di Isafan contohnya yang mirip meski tampak berbeda, dengan menara Mughal di Agra.
Masih menurut Esposito, menara berfungsi lebih dari sekadar lambang Islam yang jelas. Bentuknya dapat menjdai simbol kuat bagi dominasi politik. Bangunan-bangunan Utsmaniyah, misalnya, yang menawarkan pandangan kaya akan isu-isu pelik yang ditimbulkan lewat konsep tradisional.
Pada abad ke-14 hingga abad ke-15, Dinasti Utsmaniyah mengembangkan gaya menara yang berbeda, tinggi, dan runcing, serta bagian atas yang berbentuk kerucut. Lazimnya dua dan paling banyak enam. Menara masjid menunjukkan patronase Sultan dan konstruksi masjid tersebut.
Ketika imperium meluas ke daerah-daerah yang sebagian rakyatnya memeluk agama Kristen, menara khas Utsmaniyah di atas cakrawala sebuah kota menunjukkan kehadiran kekuasaan `Utsmaniyah'.
Saat gubernur atau Sultan Utsmaniyah mensponsori pembangunan masjid, gaya masjid, dan menaranya sering serupa dengan di ibu kota. Karena itu, masjid dan menara bergaya Utsmaniyah dibangun di Mostar, Acre, dan Tunis. Bentuk menara melambangkan kekuasaan Utsmaniyah ditunjukkan oleh praktik lainnya. Dibeberapa kota seperti Kairo, masjid yang dispon- sori oleh Gubernur Utsmaniyah mengambil gaya lokal, menara bergaya Utsmaniyah jelas menandakan patronase Utsmaniyah.
Di Damaskus, Utsmaniyah menambahkan bagian puncak menara yang khas (bagian badan dan puncaknya berbentuk kerucut) di bagian dasar yang persegi terhadap masjid agung periode Umayah. Di kota lainnya, di mana penduduknya beraga- ma Kristen seperti Athena, Heraklion, dan Thessaloniki, menara gaya Utsmaniyah juga mengisyaratkan perubahan gereja menjadi masjid.
Ketika negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaan Utsmaniyah mulai merdeka pada abad ke-19 dan 20, mereka mulai mengartikulasikan memori kolektif mereka. Menara bergaya Turki Utsmani disikapi dengan berbagai cara. Dari melestarikan, memodifikasi sesuai dengan budaya bangsa bersangkutan hingga melenyapkannya