REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ginanjar Sya'ban menceritakan, pada awal abad ke-16, ada seorang pelancong dari Italia. Ketika pelancong tersebut berkunjung ke Makkah, dia menemukan orang-orang dari nusantara telah hidup dan tinggal di sana.
Ada lagi catatan seorang perwira Rusia pada 1889. Perwira Rusia tersebut datang ke Makkah untuk menyensus penduduk Makkah. Diketahui jumlah penduduk Makkah mencapai sekitar 80 ribu jiwa, sebanyak 16 ribu di antaranya adalah orang-orang dari nusantara. Orang-orang nusantara dianggap menjadi koloni non-Arab terbesar yang ada di Makkah.
Orang-orang nusantara di Makkah memiliki keistimewaan dibandingkan orang-orang dari bangsa lain. Sebab, mayoritas orang-orang nusantara di Makkah berasal dari kalangan intelektual. Artinya, mereka para pelajar. Berbeda dengan orang-orang dari bangsa lain yang bekerja dan berdagang di Makkah. "Kalau mereka (orang nusantara) tidak jadi pelajar, biasanya jadi saudagar. Dulu orang nusantara masih kaya-kaya," ujar Ginanjar.
Menurut dia, ada satu kajian yang ditulis forum-forum intelektual di Makkah. Disebutkan, pada abad ke-19 dan abad 20, komunitas terbesar di Mas jid al-Haram adalah penganut Mazhab Syafi'i. Sedangkan, sebanyak 60 persen pengajar dari Mazhab Syafi'i di Masjid al-Haram berasal dari nusantara.
Snouck Hurgronje dalam laporannya tentang Makkah pada 1885 menginformasikan hal yang sama dengan perwira dari Rusia tersebut.
Pada 1883, teknologi mesin cetak masuk ke Makkah dari pemerintahan Utsmaniyah di Istanbul, Turki. Mesin cetak tersebut merupakan salah satu fasilitas yang diberikan Pemerintah Utsmani kepada Makkah. Melalui mesin cetak tersebut, diterbitkanlah buku-buku dalam bahasa Arab, Persia, Turki, dan Melayu. Penggunaan bahasa Melayu menunjukan masyarakat nusantara menjadi entitas penting di Makkah pada masa itu.
"Ini menunjukkan, orang nusantara yang ada di sana sebagai entitas yang penting sehingga otoritas Makkah mengakomodasi ketersediaan kitab dalam bahasa mereka (bahasa Melayu)," ujarnya.
Sayangnya, naskah-naskah ulama nusantara di Timteng kurang diketahui masyarakat umum di Indonesia. Hal itu bisa dipahami mengingat naskah-naskah tersebut banyak yang tersimpan di Timteng sehingga sulit dijangkau. "Selain itu, faktor bahasa juga mempengaruhi, dan hanya sedikit yang menjadi ahli filologi di Indonesia,'' kata Ginanjar.