REPUBLIKA.CO.ID, GROZNY -- Setiap hari Belant Zulgaveya tertekan melihat cucu-cucunya memainkan permainan yang mereka sebut perang kecil. Sambil berbicara dengan volume kecil, mereka berlarian dan bersembunyi. Terkadang, mereka saling membanting tubuh satu sama lain ke tanah dengan ganas.
Pada awalnya, Hamzat (enam tahun), Abdullah (lima) dan Malik (empat) jarang berbicara ketika pindah bersama sang nenek di sebuah pedesaan di Pegunungan Kaukasus, Chechnya yang merupakan bagian dari Federasi Rusia. Mereka hanya asyik bermain perang. "Tapi, seiring waktu, mereka mulai melunak," ucap Zulgaveya, dilansir di New York Times, baru-baru ini.
Tiga bersaudara itu sempat tinggal di Tal Afar, Irak ketika pasukan yang didukung Amerika mengepung kota tersebut. Ayah mereka meninggal dalam pertempuran. Setelah sebuah bom meratakan rumah, ibu mereka Fatima memutuskan pergi bersama adik perempuan mereka.
Tapi, Hamzat, Malik dan Abdullah terpisah dengan Fatima saat berada di sebuah pos pemeriksaan. Ia tetap ditahan di irak, sementara pemerintah Rusia mengembalikan tiga bersaudara dan adiknya, Halima (satu bulan). "Ini adalah sebuah keajaiban mereka kembali dalam keadaan hidup," ucap Zulgaveya.
Zulgaveya kini tengah berjuang merawat tiga cucunya yang sempat dibesarkan kelompok militan ISIS. Cucu Zulgaveya merupakan tiga dari 71 anak yang berhasil dipulangkan pemerintah Rusia dari tangan ISIS, bersama dengan 26 perempuan lain.
Keputusan pemerintah Rusia memiliki dasar. Senator Rusia, Ziyad Sabsabi menjelaskan lebih baik anak-anak tersebut dibawa kembali ke kakek dan nenek mereka dibandingkan harus tumbuh di kamp dan mungkin saja kembali sebagai orang dewasa radikal.
"Apa yang harus kami lakukan, meninggalkan mereka di sana sampai orang merekrut mereka. Anak-anak ini memang sudah melihat hal mengerikan. Tapi, ketika kita menempatkan mereka di lingkungan berbeda, bersama kakek nenek, mereka bisa berubah dengan cepat," ujar Sabsabi.