REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Ajaran Islam mendukung toleransi dan koeksistensi damai. Bahkan, Uni Mirat Arab (UEA) pun telah mengikuti ajaran itu untuk menjadi negara yang damai dan maju.
Demikian dikatakan Menteri Toleransi, Shaikh Nahyan Bin Mubarak Al Nahyan, saat pembukaan Konferensi Toleransi 2018, dengan tema 'mengeksplorasi toleransi, moderasi, dan dialog saat menghadapi ekstremisme'.
Letnan Jenderal Shaikh Saif Bin Zayed Al Nahyan, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri UEA, membuka konferensi tersebut pada Senin (5/3) waktu setempat.
Diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri, konferensi tersebut berlangsung di Pusat Pameran Nasional Abu Dhabi menjelang Pameran Internasional untuk Keamanan dan Ketahanan Nasional (ISNR 2018). Shaikh Saif juga meluncurkan inisiatif "UAE, sebuah Tanah Tolerensi".
Inisiatif tersebut digagas oleh kementerian tersebut bekerja sama dengan Arsip Nasional sebagai pengakuan atas kontribusi Shaikh Zayed Bin Sultan Al Nahyan terhadap perkembangan UEA. Dia juga meluncurkan kampanye media sosial Alamani Zayed (Zayed mengajari saya) untuk membiarkan orang mengekspresikan penghargaan dan cintanya kepada Wakil Presiden UEA di media sosial.
"Toleransi telah memperkaya sejarah panjang dan identitas kita. Ini telah meningkatkan rasa percaya diri dan kebanggaan kita tentang peradaban kita, dan kemampuan kita untuk berinteraksi dengan seluruh dunia," kata Shaikh Nayhan, dilansir dari Gulf News, Selasa (6/3).
Shaikh Nahyan mengatakan, UEA telah melaksanakan toleransi tanpa mengorbankan identitas, kepercayaan dan keyakinan masyarakat. Menurutnya, masyarakat UEA telah mengatasi ekstremisme dan fanatisme yang keras dengan sangat efektif. Ia mengatakan, komunitas yang toleran akan menjadi komunitas yang sukses, dan mencapai keunggulan dalam semua aspek kehidupan.
Seiring dunia yang telah menjadi desa kecil (berkat kemajuan teknologi dan komunikasi), dia mengatakan, sebagian besar masyarakat sama-sama memiliki kesempatan dan risiko bersama. Karena itulah, kata dia, konferensi ini merupakan tempat untuk mengidentifikasi peluang tersebut dan memanfaatkannya dengan pemikiran kreatif dan strategi yang tepat. Di samping, untuk mengatasi risiko dan ancaman secara kolektif.
"Sebagai menteri toleransi, saya harus fokus pada risiko seperti ekstremisme, kekerasan dan terorisme. Kekerasan dan terorisme mempengaruhi perdamaian dan keamanan di sebagian besar dunia," lanjutnya.
Shaikh Nahyan mengatakan, para teroris membangun filosofi mereka berdasarkan ideologi ekonomi, politik dan agama untuk membenarkan kesalahan mereka. Namun, dunia menolak kekerasan, ekstremisme dan pemikiran yang destruktif.
Dalam hal ini, dia mengatakan, konferensi tersebut berfokus pada cara untuk menyingkirkan terorisme dan mencapai kemajuan dan pembangunan. Karena komunitas yang toleran, kata dia, akan menjadi komunitas yang bahagia.
Menurutnya, populasi dunia sangat beragam dan orang harus hidup dengan keragaman itu. Dia mengatakan, pengalaman sukses UEA tentang koeksistensi damai dari lebih 200 kebangsaan dapat menjadi model.
"Seiring dengan UEA memperingati Tahun Zayed, ini adalah kesempatan untuk mengingat nilai kepemimpinan Shaikh Zayed. Dia menganjurkan, perdamaian dan dialog antara masyarakat dan agama, dan menghindari kebencian dan kekerasan. Ketidakadilan dan budaya kebencian menyebabkan ekstremisme," tambahnya.
Sementara seorang pakar mengatakan, ketidakadilan dan budaya kebencian menyebabkan ekstremisme di wilayah tersebut. Hal itu diungkapkan Mohammad Habash, seorang ilmuwan dan penulis Islam Suriah, pada konferensi toleransi, moderasi dan dialog dalam melawan ekstremisme, yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri (MoI) di Abu Dhabi.
"Di beberapa negara Arab kediktatoran dan ketidakadilan menyebabkan ekstremisme (yang harus dipecahkan oleh pemerintah). Tapi itu adalah tanggung jawab masyarakat umum untuk mengatasi budaya kebencian," kata Habash, pada sesi pertama konferensi bertajuk 'Berinvestasi dalam pendidikan untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi dan konsep dialog'.
Maqsoud Kruse, direktur eksekutif Hedayah, mengatakan, berbagai faktor berkontribusi terhadap transformasi seseorang menjadi ekstremis. Menurutnya, psikologi, sosiologi, sejarah, semuanya berperan dalam mengatasi itu.
Kruse mengatakan, langkah-langkah inovatif diperlukan untuk mengatasi ekstremisme. "Ini adalah fenomena multidimensional. Oleh karena itu, sangat penting bagaimana kita merancang untuk mengatasinya dan bagaimana kita mempromosikan toleransi," katanya.