Jumat 09 Mar 2018 21:02 WIB

Kunjungi Republika, CIPS Bahas Kebijakan Swasembada Pangan

Satu kendala yang membuat swasembada beras tak relavan lagi adalah keterbatasan lahan

Rep: Ali Mansyur/ Red: Budi Raharjo
Media Relations Manager CIPS, Vera Ismainy  memberikan keterangan kepada perwakilan Harian Republika saat melakukan kunjungan ke  kantor Harian Republika, Jakarta, Jumat (9/3).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Media Relations Manager CIPS, Vera Ismainy memberikan keterangan kepada perwakilan Harian Republika saat melakukan kunjungan ke kantor Harian Republika, Jakarta, Jumat (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengunjungi Kantor Harian Republika di Jalan Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan pada Jumat (9/3). Dalam kunjungannya mereka membicarakan berbagai hal, salah satunya mengenai kebijakan swasembada pangan.

CIPS adalah lembaga nonpartisan dan nonprofit yang bekerja untuk membuat analisa kebijakan dan rekomendasi kebijakan praktis. Hasilnya diperuntukkan kepada para pembuat keputusan dalam struktur legislatif dan eksekutif pemerintah Indonesia

"Kami memandang Republika dan rekan-rekan media adalah koalisi yang penting untuk membangun reputasi CIPS serta memperkenalkan kami dan juga pemikiran-pemikiran kami," ujar Media Relations Manager, Vera Ismainy, di Kantor Harian Republika, Jakarta Selatan, Jumat (9/3).

Menurut Vera, tiga bidang yang menjadi bidang utama peneltian CIPS. Diantaranya adalah esejahteraan rakyat, yang mencangkup migrasi tenaga kerja, entrepeneurship, pendidikan serta perdagangan pangan. CIPS menginginkan kebijakan-kebijakan pemerintah bisa memberikan akses kepada masyarakat miskin untuk memperbaiki kesejahteraannya.

Oleh karena itu, CIPS mengadvokasi penelitiannya ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, serta ke Kementerian terkait. Hal itu supaya pihaknya bisa menjadi bagian saat mereka hendak memutuskan suatu kebijakan.

"Kami aktif mengkritisi pemerintah yang menurut kami tidak sesuai dengan realitas di masyarakat, misalnya kebijakan swasembada pangan. Menurut kami kebijakan swasembada pangan sudah tida relevan lagi, baik itu swasembada beras dan juga garam," ungkapnya.

Vera menjelaskan, salah satu kendala yang membuat swasembada beras dan juga garam tidak relavan lagi adalah karena keterbatasan lahan serta jumlah petani semakin berkurang. Misalnya, soal garam, meski pemerintah menyediakan ribuan hektar tapi lahan tersebut belum tentu cocok untuk bertani garam.

Sementara di lain pihak, pemerintah tengah menggencarkan Industrialisasi. "Jadi kita itu pengennya pemerintah itu realitas saja. Jadi impor adalah solusinya menurut kami," tutur Vera.

Lanjut Vera, CIPS menyuarakan impor pangan bukan tanpa alasan, karena hasil produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri sendiri. Akibatnya harga pangan di dalam negeri tidak stabil dan cenderung mahal. Maka jangan ragu untuk melakukan impor, apalagi Indonesia terlibat dalam perdagangan internasional.

Vera berpendapat, dengan mengimpor dapat membantu untuk menstabilkan harga di dalam negeri. Dengan begitu harga pangan bisa terjangkau oleh masyarakat miskin, mereka mempunyai kesempatan untuk memperbaiki diri, terutama kesejahteraannya.

"Bayangkan orang-orang yang penghasilannya cuma 300 ribu sebulan. Paling uang mereka habis hanya cukup untuk makan. Jadi bagaimana mereka memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya, kebutuhan sandang pangan," tutupnya.

Dalam kunjungan itu, selain Vera juga turut hadir Researcher, Imelda Freddy, dan Junior Researcher Novani Karina Saputri. Sementara dari Republika dipimpin langsung oleh Redaktur Pelaksana Koran Republika Subroto.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement