REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ali Elmaci, imam masjid, menghargai upaya arsitek membawa bangunan Sancaklar pada esensi dasarnya. ''Tak mengganggu jamaah,'' kata imam. ''Anda mendapatkan hubungan yang lebih dekat dan lebih penuh kedamaian dengan Sang Pencipta.''
Jamaah pria dan wanita dipisahkan oleh sebuah tirai hitam di dalam ruang utama masjid ini. Artinya, wanita dipisahkan pada sepanjang salah satu sisi bangunan. Pembatas yang terbuat dari baja berlubang memberikan privasi sekaligus memungkinkan jamaah melihat ke arah mimbar khatib.
Ruang utama seluas 65 meter persegi dengan karpet abu-abu polos. Ruang utama ini terdiri atas lantai bertingkat dan langit-langit. Cahaya dipasang di bawah anak tangga dan dalam lubang-lubang di plafon menyinari ruangan dengan lembut. ''Interior masjid ini, sebuah ruangan sederhana seperti gua, menjadi tempat yang dramatis dan mengagumkan untuk berdoa dan mendekatkan diri dengan Tuhan,'' kata Emre Arolat, sang arsitek.
Permainan garis dan lengkung bertebaran di dalam masjid. Anak tangga dengan bentuk lingkaran menjadi podium bagi khatib di depan pintu. Tangga di belakang pintu membawa kita mengarah ke menarastruktur khas yang digunakan untuk mengumandangkan azan.
Ada lagi mimbar lain yang menempel pada dinding hitam masjid yang dibangun pada 2012 ini. Dinding kaca hitam itu memantulkan ruangan dan jamaah di dalamnya itu memisahkan kamar mandi dari ruang utama sekaligus tempat lain bagi khatib. Dinding ini dihiasi kaligrafi modern Mehmet Ozcay dengan huruf tebal dikerjakan dalam kaca jernih.
Masjid Sancaklar tak berdiri sendiri. Di sisi utara halaman, sebuah paviliun panjang yang digunakan sebagai perpustakaan dan ruang pertemuan terlihat seolah mengambang di atas kolam pantul. Di selatan, masjidnya sendiri yang memanggil secara halus para jamaahnya.
Arolat mendapatkan inspirasinya dari Gua Hira, di mana Rasulullah pertama kali menerima wahyunya. ''Kami ingin lepas dari tontonan apa pun dan menjangkau esensi ritual shalat,'' katanya.