REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk merapat ke Partai Gerindra pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 realistis dan sudah dapat diprediksi. Sebab, PKS mempunyai hubungan kurang baik dengan PDI Perjuangan sehingga menyulitkan bergabung ke koalisi pendukung pemerintah.
Hubungan yang kurang baik itu membuat PKS tidak lagi mempertimbangkan posisi strategis PDIP yang bakal mengusung Joko Widodo (jokowi) untuk periode kedua pada Pilpres 2019. "Jadi, paling memungkinkan, PKS menjalin dengan Gerindra," ucap pengamat politik Yunarto Wijaya ketika dihubungi Republika, Kamis (15/3).
Yunarto mengatakan PKS memang pernah punya hubungan mesra dengan PDIP ketika mengusung Jokowi sebagai wali kota Solo. Namun, relasi itu berubah pada Pilkada DKI Jakarta 2012.
Kala itu, PDIP mengusung Jokowi-Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, sedangkan PKS mencalonkan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini. Yunarto menyebutkan pertarungan itu membuat hubungan kedua kubu yang retak ini sulit diperbaiki. Termasuk untuk berdamai di level nasional atau Pilpres 2019.
Selain itu, Yunarto menilai, ada kesenjangan pemikiran dan ideologi yang sulit menyatukan PKS dan PDIP. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri berpaham nasionalis, sedangkan PKS cenderung agamis.
"Kalau belajar dari sejarah politik aliran, NU memiliki kedekatan baik dengan PDIP dalam membangun koalisi nasional religius, sementara PKS tidak," ujar Yunarto.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia ini menambahkan, PKS juga cenderung baru sebagai partai agama, yaitu sekitar 2009. Dampaknya tidak mudah untuk bertemu dengan koalisi PDIP. Tidak hanya di level nasional, hubungan yang tidak erat ini juga termasuk juga di lingkup Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), di mana jarang terjadi koalisi antara PDIP dengan PKS.
PKS telah menyatakan dukungannya terhadap Gerindra dalam Pilpres 2019, termasuk agar Prabowo Subianto maju sebagai capres. PKS juga sudah menentukan sembilan kader yang dianggap layak sebagai cawapres untuk kelak mendampingi Prabowo.