REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum Islam dari International Islamic University (IIU) Malaysia, Muhammad Arifin, mengungkapkan, Rasulullah SAW sendiri sebenarnya telah memberikan gambaran mengenai konsep ijtihad paling sederhana dalam ushul fikih semasa hidupnya.
Pada sebuah riwayat disebutkan, sebelum mengutus Muadz bin Jabal untuk berdakwah ke negeri Yaman, Nabi SAW sempat bertanya kepada sahabatnya itu.
“Bagaimana engkau akan memutuskan sebuah persoalan ketika timbul pertanyaan (dari orang-orang Yaman)?”
Muadz menjawab, “Aku akan menjawabnya sesuai dengan Alquran.” Nabi lalu bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tidak bisa menemukan jawabannya di dalam Alquran?”
“Aku akan menjawabnya sesuai dengan sunah.”
“Dan jika engkau tidak menemukan jawabannya, baik di dalam sunah maupun di Alquran?”
“Aku akan mengerahkan segala kemampuanku untuk memberikan penilaianku sendiri atas masalah itu.”
Kemudian Nabi bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Nabi-Nya (Muadz) kepada langkah yang diridhai Nabi-Nya.”
Cara yang ditempuh Muadz dalam memutuskan persoalan hukum itu, kata Arifin, kemudian juga diikuti oleh sahabat-sahabat yang lain dan para ahli hukum Islam yang hidup sesudahnya. “Ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman mereka yang terbaik terhadap Alquran dan sunah,” tulis Arifin dalam karyanya Usul al-Fiqh: A History of Islamic Legal Thinking yang dipublikasikan oleh Jurnal Hukum IIU Volume 1 No 2, 1989.
Sejarawan Muslim asal India, Dr Nazeer Ahmed, dalam karyanya, Shariah, Fiqh and the Sciences of Nature, menuturkan, awal mula kemunculan ushul fikih sebagai disiplin ilmu tersendiri tidak dapat dilepaskan dari sejarah penulisan Alquran dan hadis yang praktiknya sudah dimulai sejak era sahabat.
Satu abad setelah wafatnya Nabi SAW, semua sahabat dan para tabi'in (orang-orang yang mempelajari Islam dari para sahabat) telah meninggal dunia. Generasi Muslim berikutnya (dikenal dengan sebutan tabi'u at-tabi'in) memikul tugas yang tak kalah beratnya dari para pendahulu mereka, yaitu menggali, mengumpulkan, dan memilah-milah hadis Nabi SAW. Periode ini merupakan awal dari munculnya ilmu hadis.
“Keberadaan ilmu Alquran (ulum Alquran), ilmu hadis (ulum as-sunnah) menjadi sumber yang paling penting dalam pengembangan ushul fikih pada masa-masa selanjutnya,” ujar Ahmed lagi.