REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi INDEF Eko Listiyanto menilai rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) akan terus meningkat, seiring dengan terus dipacunya proyek infrastruktur. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total utang pemerintah hingga akhir Februari 2018 sebesar Rp 4.034,80. Total utang tersebut setara dengan 29,24 persen terhadap PDB. "Sangat mungkin akan naik. Jika target pertumbuhan ekonomi (PE) 5,4 persen meleset ke bawah maka akan naik. Perkiraan pemerintah PE 5,4 persen rasio utang/PDB 28,5 persen, nah sekarang sudah 29 persen," ujar Eko kepada Republika.co.id, Senin (19/3).
Eko menjelaskan, risiko utang meskipun melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Negara (SBN), jika pembelinya sebagian besar asing maka tetap ada risiko kurs. Jika utang tersebut disertai dengan situasi defisit neraca perdagangan seperti saat ini maka risiko kurs juga meningkat, bunganya pun tidak bisa ditawarkan dalam tingkat rendah. "Ibaratnya asing pegang, rupiah tenang, asing lepas, rupiah bisa goyah, sehingga tetap ada risiko kurs," ujar Eko.
Selain SUN dan SBN, ULN langsung juga sudah pasti ke depan meningkatkan risiko kurs. Meskipun dalam jangka pendek ada valas yang lebih banyak masuk pasar Indonesia. Diketahui saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih fluktuatif dan berada di kisaran Rp 13.700 mendekati Rp 13.800 per dolar AS.
Sementara itu, posisi defisit pasti akan mengurangi pertumbuhan ekonomi. Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan, per Januari dan Februari 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar masing-masing 680 juta dolar AS dan 120 juta dolar AS. Dengan dua kali defisit, neraca perdagangan Indonesia berada pada posisi defisit sebesar 800 dolar AS.
Sektor ekspor jasa Indonesia juga mengalami defisit. Namun, menurut Eko, karena porsi ekspor-impor dalam pertumbuhan ekonomi masih lebih rendah dari konsumsi rumah tangga dan juga investasi maka secara keseluruhan perkembangan pertumbuhan ekonomi hanya akan lebih ditentukan dua indikator ini.
"Jadi, utang yang arahnya adalah untuk membiayai pembangunan infrastruktur harus dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga atau daya beli dan mendorong naiknya investasi. Dengan cara inilah pertumbuhan ekonomi akan naik," ujar Eko.
Sementara itu, Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan Schneider Siahaan mengatakan, masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan jumlah utang pemerintah. Sebab, indikator rasio utang pemerintah masih dalam level aman dan berada di bawah batas maksimum utang pemerintah, sebagaimana dalam UU Keuangan Negara Nomor 17/2003, yaitu 60 persen terhadap PDB.
"Utang ini akan naik terus sepanjang anggaran kita masih defisit. Yang kami lakukan adalah mengelola utang dengan baik agar bisa membayarnya," ujar Schneider.