REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam mendidik anak agar menjadi shaleh, dibutuhkan peran orang tua yang sangat besar. Ada sifat yang harus dimiliki orang tua sebagai seorang pendidik bagi anaknya.
ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَۙ
tsumma yaqûla lin-nâsi kûnû ‘ibâdal lî min dûnillâhi wa lâking kûnû rabbâniyyîna bimâ kuntum tu‘allimûnal-kitâba wa bimâ kuntum tadrusûn
tetapi (hendaknya dia berkata), “Jadilah kamu para pengabdi Allah karena kamu selalu mengajarkan kitab dan mempelajarinya!”
Syekh Nada Abu Ahmad mengatakan dalam Berkah Anak Shalih, para ahli tafsir berkata, "Seorang rabbani (di dalam ayat diterjemahkan dengan pengabdi Allah) adalah orang yang bijak, mengadakan perbaikan, mengetahui seni mengatur manusia dan berupaya memenuhi maslahat mereka. Dari sinilah seorang pengajar bisa disebut seorang bijak dan seorang pembuat perbaikan.
Dari sini pula Luqman mendapat sebutan Al Hakim (yang bijak), karena keseriusannya dalam mendidik, menasihati, dan memperbaiki anaknya."
Allah berfirman (Surat Luqman ayat 12)
وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِۗ
wa laqad âtainâ luqmânal-ḫikmata anisykur lillâh
Sungguh, Kami benar-benar telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah!
Kemudian Allah menjelaskan hikmah yang Dia anugerahkan kepada Luqman, yakni di dalam firman-Nya (Surat Luqman ayat 13).
وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِۗ اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
wa idz qâla luqmânu libnihî wa huwa ya‘idhuhû yâ bunayya lâ tusyrik billâh, innasy-syirka ladhulmun ‘adhîm
(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.”
Serta, berbagai nasihat, petuah, dan bimbingan lain yang diberikannya kepada anaknya, seperti halnya firman Allah (Surat Luqman ayat 19).
وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ
waqshid fî masy-yika waghdludl min shautik
Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu.
Ada riwayat lain dari generasi salafus shalih mengenai makna rabbani. "Yaitu seseorang yang giat beramal, alim dan pengajar."
Allah berfirman (Surat Al Maidah ayat 63):
لَوْلَا يَنْهَىٰهُمُ ٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلْأَحْبَارُ عَن قَوْلِهِمُ ٱلْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ ٱلسُّحْتَ
Lau lā yan-hāhumur-rabbāniyyụna wal-aḥbāru 'ang qaulihimul-iṡma wa aklihimus-suḥt
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?
Ibnu Abbas berkata tentang makna Rabbani, "Yaitu seorang bijak lagi memahami agama dengan benar. "
Imam Bukhari berkata, "Dikatakan bahwa seorang Rabbani adaldah orang yang mendidik masyarakat dengan ilmu-ilmu sederhana sebelum ilmu-ilmu rumit."
Ashmai dan Ismaili berkata, "Kata Rabbani dinisbatkan kepada kata Rabb. Artinya, seorang yang hanya menginginkan ilmu dan amal yang diperintahkan oleh Rabb."
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan beberapa sifat seorang rabbani, yaitu: bijaksana, berpengalaman mengatur manusia, berusaha memenuhi kemashlahatan masyarakat, shaleh, melakukan perbaikan, dan berilmu. Jadi, pendidikan adalah perkara yang sangat penting dan keselamatan yang tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu apa pun. Dengan demikian, kita yang mendamba anak shaleh mesti menerapkan metode yang Islami dan jelas ini.