REPUBLIKA.CO.ID, ALEXANDRIA - Sebuah serangan bom telah menewaskan dua orang, termasuk satu polisi, di Kota Alexandria, Mesir, pada Sabtu (24/3). Serangan ini terjadi dua hari sebelum negara itu mengadakan pemilihan presiden.
Kementerian Dalam Negeri Mesir mengatakan, serangan itu menargetkan kepala keamanan Alexandria, Mayor Jenderal Polisi Mostafa al-Nemr. "Pada Sabtu 24 Maret, sebuah alat peledak yang ditanam di bawah mobil telah meledak ... ketika kepala keamanan Alexandria melintas," kata kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan.
Foto-foto di media sosial yang tidak dapat diverifikasi oleh Reuters menunjukkan ada mobil yang terbakar di lokasi ledakan. Selain dua orang tewas, empat polisi juga dilaporkan terluka akibat ledakan.
Saksi mata mengatakan polisi dan personil militer segera melakukan penjagaan di sekitar lokasi ledakan. Stasiun televisi lokal kemudian menunjukkan kondisi Mayjen Nemr yang selamat tanpa cedera.
Belum ada yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan ini. Sebelumnya, ISIS telah merilis sebuah rekaman video bulan lalu yang memperingatkan warga Mesir untuk tidak mengambil bagian dalam pemungutan suara di pemilihan presiden. Mereka juga mendesak kaum Islamis untuk menyerang pasukan keamanan dan para pemimpin Mesir.
Pada Desember lalu, ISIS dilaporkan telah melakukan percobaan pembunuhan terhadap Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri Mesir. Saat itu, dua menteri tersebut sedang melakukan perjalanan ke Semenanjung Sinai, tempat ISIS melancarkan pemberontakan selama hampir lima tahun.
Meski demikian kantor berita negara MENA menyalahkan Ikhwanul Muslimin atas serangan bom kali ini. Ikhwanul Muslimin telah secara resmi dilarang di Mesir dan ditetapkan sebagai kelompok teroris.
"Upaya ini datang dalam konteks Ikhwanul Muslimin tengah mencoba mengganggu proses pemilihan dan mempengaruhi warga agar tidak pergi ke tempat pemungutan suara dan berpartisipasi dalam pemilihan presiden," kata MENA.
Pada Jumat (23/3), Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengatakan militan ISIS akan segera dikalahkan di Sinai, ketika ia mengunjungi pasukan Mesir yang memerangi para militan di sana.
Sisi selama ini telah menindak keras perbedaan pendapat dan reformasi ekonomi yang sulit telah mengikis popularitasnya. Namun pendukungnya mengatakan langkah-langkah seperti itu diperlukan untuk menstabilkan Mesir, yang telah diguncang oleh kerusuhan selama bertahun-tahun setelah penggulingan Hosni Mubarak pada 2011.