REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Otda Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Sumarsono, mengatakan pihaknya tetap memilih opsi revisi Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan kepala daerah dibandingkan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Sehingga, dimungkinkan adanya penggantian calon kepala yang menjadi tersangka.
Pihaknya mengingatkan adanya wewenang diskresi yang dimiliki oleh KPU. "Kami lebih nyaman dengan opsi melakukan revisi PKPU. Sebab, opsi mengeluarkan perppu itu kan harus ada alasan yang sangat darurat. Sementara jika kita lihat, kondisi saat ini belum darurat," ujar Sumarsono ketika dihubungi Republika, Jumat (30/3).
Sumarsono menjelaskan, yang dimaksud darurat adalah membahayakan atau mengancam negara. Sementara itu, lanjut dia, jika hanya ada pengurangan jumlah calon kepala daerah akibat menjadi tersangka korupsi, maka kondisi ini belum dapat disebut darurat.
Alasan kedua, kata Sumarsono, KPU tidak dilarang untuk melakukan pengaturan di dalam PKPU jika memang tidak ada aturan pokok dalam UU Pilkada. Menurutnya, kondisi ini terkait dengan diskresi atau kewenangan mengatasi persoalan jika tidak ada aturan yang jelas di dalam undang-undang.
"KPU itu punya wewenang diskresi dalam level pelaksanaan. Selama (revisi) PKPU iti dikonsultasikan kepada pembuat UU, yakni DPR dan pemerintah tidak masalah. Intinya, DPR duduk bersama dengan pemerintah dan KPU untuk membahas revisi PKPU," tegas Sumarsono.
Lebih lanjut Sumarsono menekankan adanya proses yang lebih efektif jika KPU mau melakukan revisi PKPU. Sebab, revisi itu hanya menambah sekitar satu hingga dua pasal saja. Setelah revisi, bisa langsung disahkan dan diberlakukan.
Sebelumnya, Komisioner KPU, Viryan, mengatakan, pihaknya tidak memiliki dasar untuk melakukan revisi terhadap Peraturan KPU (PKPU) agar memungkinkan adanya penggantian calon kepala daerah tersangka atau bermasalah hukum. KPU berpandangan revisi PKPU berpotensi dilakukan jika ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
"Terkait dengan hal itu (revisi PKPU), norma apa yang nanti akan dijadikan dasar oleh KPU? Ini nanti akan sangat riskan. Apa yang menjadi dasar bagi KPU melakukan revisi ?" ungkap Viryan, rabu (28/3).
Dia melanjutkan, risiko yang dimaksud adalah potensi adanya gugatan-gugatan akibat tindakan KPU jika revisi PKPU jadi dilaksanakan. Sebab, dalam UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 tidak ditegaskan aturan yang memperbolehkan seorang calon kepala daerah tersangka diganti jika belum ada putusan hukum yang tetap.
Viryan mengatakan, penggantian calon kepala daerah hanya bisa dilakukan jika ada tiga penyebab. Ketiganya yakni, menderita sakit sebelum ditetapkan sebagai calon kepala daerah, berhalangan tetap dan meninggal dunia.
"Poin berhalangan tetap itu harus dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter yang menjelaskan bahwa dia sakit dan tidak bisa lagi melakukan aktivitas. Jika ditahan oleh penegak hukum kemudian mengalami kondisi sakit yang demikian, misalnya ditahan dan kena stroke lalu yang bersangkutan mengajukan surat keterangan, maka bisa diganti," papar Viryan.