Selasa 03 Apr 2018 16:35 WIB
Soal Puisi Sukmawati

Komisi Dakwah MUI: Jangan Bangga Bila tak Mengerti Syariat

Adik mantan presiden Megawati itu telah salah memahami makna syariat Islam.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agus Yulianto
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis
Foto: ROL/Fakhtar Khairon Lubis
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH M Cholil Nafis mengkritisi, isi puisi Sukmawati Sukarnoputri soal budaya Indonesia dengan merendahkan syariTat Islam, azan, dan penggunaan cadar. Menurut Cholil, adik mantan presiden RI Megawati Sukarnoputri itu telah salah memahami makna syariat Islam.

"Tak mengerti syariat Islam bagi pemula itu keniscayan. Tapi, bangga dengan tak paham syariah bagi muslimah adalah 'kecelakan'," ungkapnya kepada wartawan, Selasa (3/4).

Dia menegaskan, syariah itu sumber ajaran Islam yang wajib diketahui oleh pemeluknya. Jadi, syariah itu orisinil dari Allah SWT.

Kemudian soal cadar. Menurutnya, cadar itu produk fikih dari ijtihad ulama yang meyakini sebagai syariah berdasarkan dalil Alquran surat an-Nur: 31, khususnya menurut pendapat Ibnu Mas'd. Walaupun ulama ada yang tidak mewajibkan cadar, namun ia menekankan, itu tak terkait soal keindahan semata. Karena pilihan penggunaan cadar juga soal kepatuhan kepada Allah SWT.

Sedangan soal azan yang dalam puisi juga dibandingkan dengan kidung ibu, mantan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama ini mengingatkan, azan itu syi'ar Islam. Tujuannya untuk memberi tahu dan memanggil untuk mendirikan shalat.

"Azan bukan sekedar soal merdu suara muadzinnya di kuping. Tapi, bagi Muslim, azan itu menembus hati karena berisi keagungan Allah, syahadat dan ajakan untuk meraih kebahagiaan," tegasnya.

Maka, cadar dan adzan menyangkut keyakinan bukan soal keindahan, meskipun keduanya itu tak saling bertentangan. Dengan demikian, tak layak membandingkan sesuatu yang memang tidak untuk dibandingkan. Apalagi wilayah subjektif individu dan pelantunnya. "Mana kebinekaannya itu yang didengungkan," sindirnya.

Dalam salah satu riwayat, ungkap Cholil, azan berasal dari mimpin Abdullah bin Zaid bin Abdi rabbih yang sama dengan mimpi Sayyidina Umar bin Khaththab. Tujuannya, tentang memberi tahu waktu shalat yang kemudian dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kemudian azan ini dipraktikkan oleh Bilal bin Rabah. "Ini mimpi yang benar sebagai hadits taqriri."

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: "Mimpi orang shaleh itu bagian dari 46 jalannya kenabian. Bahwa mimpi bisa berperan sebagai wahyu sebagaimana mimpi model adzan yang dialami oleh Abdullah bin Zaid dan Sayyidina Umar bin Khaththab, yang kemudian ditetapkan oleh Nabi sebagai hadits Nabi SAW."

Kalau dikatakan puisi ini terkait budaya, menurut dia, nusantara ini kaya dengan budaya dan nilai. Maka, menilai keindahan tidak boleh merendahkan yang lain. "Klaim merek kecap nomer 1 boleh saja, asalkan jangan dibandingkan apalagi merendahkan kecap yang lain. Tak elok menyinggung yang lain untuk membangun kerukunan dalam kebinekaan," himbaunya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement