REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Metode lain yang berkembang di dunia Islam adalah menghafal. Hafalan memiliki peran penting dalam mengembangkan ilmu-ilmu humaniora. Metode ini melibatkan banyak bahan bacaan. Para pelajar membaca bahan-bahan yang ada dan berusaha memahaminya.
Lalu, mereka menyimpannya dalam memori dengan cara mengulangi bahan bacaan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Banyak komentar dan julukan yang disematkan kepada para ilmuwan yang memiliki hafalan tajam.
Ada pujian yang ditujukan kepada seorang ilmuwan bernama Khalaf al-Ahmar, yaitu saat Khalaf meninggal dunia maka ilmu pengetahuan ikut mati bersamanya. Apa yang Khalaf ketahui merupakan pengetahuan berarti, selain itu bukan.
Ini bukanlah pujian kosong. Sebab, Khalaf hafal 40 ribu bait syair yang bernilai sebagai contoh kalimat untuk mempelajari tata bahasa. Bahkan, ada pula julukan bagi seorang sastrawan ternama, Al-Mazini. Julukan tersebut adalah Al-Sunduq atau Si Koper.
Julukan ini karena dengan kapasitas hafalannya, Al-Mazini layaknya sebuah gudang catatan. Sarat dengan bahan-bahan ilmu kebahasaan atau filologi. Bahkan, menurut murid Ibn Sina yang bernama Al-Juzajani, gurunya itu menulis Kitab al-Syifa, yang semua ia hafal.
Sebut juga Al Ma'arri, seorang penyair yang tuna netra. Ia menghafal berbagai bahan bacaan yang ia dengar. Pernah, seorang pemilik buku tentang leksikografi atau makna kata putus harapan, ketika ingin melengkapi salinan bukunya karena salah satu halaman buku itu hilang.
Orang tersebut disarankan untuk menemui Al Ma'arri. Ia menurutinya dan ketika dibacakan salah satu bagian dari buku itu, Al Ma'arri langsung mengenalnya sebagai buku karya Ishaq ibn Ibrahim al-Farabi yang berjudul Diwan al-Adab.