REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ketua Umum (Ketum) Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK), Bibit Samad Rianto menyarankan, pemerintah untuk segera merevisi UU Pilkada. Perubahan aturan ini sebuah keharusan mengingat adanya kasus penangkapan dua calon walikota Malang atas korupsi APBD-P TA 2015.
"Saya kira harus direvisi karena lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya," ujar Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini saat ditemui wartawan di Kantor GMPK Malang Raya, Kamis (12/4).
Seperti diketahui, dua calon walikota Malang telah ditetapkan dan ditahan KPK atas kasus dugaan korupsi APBD-P TA 2015. Kedua calon ini masih bisa melanjutkan penyelenggaraan Pilkada 2018 meski telah bermasalah pada hukum. Situasi ini bisa terjadi mengingat aturan UU Pilkada telah mengaturnya secara detail.
Melihat hal ini, Bibit tentu saja menyarankan pemerintah untuk merevisi UU Pilkada karena akan berdampak buruk bagi masyarakat. Masyarakat Indonesia tak memiliki sikap politik serupa dengan Amerika Serikat. Warga Indonesia mudah terpecah belah hanya karena masalah perbedaan pandangan maupun pilihan politik.
"Di Amerika kalau calonnya kalah, mereka mau baikan sama yang menang. Lah kalau kita kan lebih pendendam," jelas Ketua Satgas Dana Desa ini.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ketua Dewan Penasehat GMPK Malang Raya, Profesor Achmad Sodiki. Aturan Pilkada saat ini sudah cacat sehingga perlu diubah. Pejabat yang telah ditangkap tangan oleh KPK sudah seharusnya mundur dari perhelatan Pilkada.
"Ini kalau mereka mundur malah disanksi, itu bagaimana? Ini semacam menyadarkan kita, ada barang najis terus kita disuruh untuk memakannya. Jelas akalnya tidak jalan, ada hal yang tidak bisa diantisipasi," tegas Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Terobosan jelas perlu dilakukan mengingat situasi darurat yang terjadi di Kota Malang. Kalaupun belum bisa membuat UU baru, peraturan pemeirntah setidaknya dapat dikeluarkan. Upaya ini perlu dilakukan agar rakyat tidak disodori calon pemimpin yang tak berintegritas.