REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Harga komoditas pala di Sumatra Barat mengalami penurunan sejak Maret 2018. Komoditas pala semula dijual dengan harga Rp 55 ribu per kilogram (kg) kini menjadi Rp 45 ribu per kg.
Alasan utama yang menekan harga pala di Sumbar adalah sepinya permintaan dari negara-negara tujuan ekspor utama. Negara-negara tujuan ekspor utama pala seperti Dubai, Turki, Cina, dan negara-negara Eropa.
Ketua Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) Sumbar, Irman, menjelaskan bahwa permintaan dari negara tujuan ekspor dipengaruhi oleh kondisi ekonomi-politik masing-masing negara. Negara-negara Timur Tengah misalnya, kinerja perdagangannya sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Permintaan terhadap komoditas perkebunan akan menurun bila harga minyak dunia sedang merosot.
Penurunan harga minyak dunia memang sempat terjadi pada Maret 2018 ini. Peningkatan volume produksi minyak mentah oleh Amerika Serikat (AS) dianggap mampu mengimbangi kebijakan pengurangan produksi oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) pada 2017 lalu. Patokan global, minyak mentah Brent untuk penyerahan April, turun 1,95 dolar AS menjadi 63,83 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Sementara untuk tujuan ekspor ke Eropa, seperti Belanda dan Inggris, permintaan pala cenderung dipengaruhi stabilitas ekonomi Eropa. Apabila Eropa mengalami stagnansi atau krisis ekonomi, maka permintaan pala akan turun atau stagnan.
Irman menyebutkan, industri perkebunan pala di Sumatra Barat masih memerlukan banyak insentif dan dorongan pemerintah. Ia memandang, tanaman pala di Sumatra Barat belum produktif, ditandai dengan masih banyaknya perkebunan pala rakyat yang belum menggunakan bibit unggul. Selain itu, petani pala di Sumbar juga belum menggunakan teknologi budidaya yang mampu menggenjot angka panen. "Juga gangguan hama yang membuat mutu hasil rendah. Panen dan pengolahan juga masih dilakukan secara tradisional," kata Irman, Ahad (15/4).
Ia mendesak pemerintah membangun peta jalan yang terukur bagi pengembangan perkebunan pala di Sumatra Barat. Apalagi tanaman pala tidak mengenal musim panen. Irman menyebutkan, pala dapat dipanen dan berbuah sepanjang tahun seperti sawit. "Pemerintah harus memutar otak untuk mendongkrak harga pala. Agar petani pala sejahtera," katanya.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas pertanian bukan lah primadona ekspor Sumbar. Selama Januari-Februari 2018, nilai ekspor komoditas pertanian dari Sumatra Barat sebesar 3,26 juta dolar AS. Angka ini masih jauh di bawah nilai ekspor produk industri pengolahan, sebesar 274,34 juta dolar AS. Kinerja perdagangan Sumbar memang sangat bergantung pada produk olahan CPO dan karet.