Rabu 25 Apr 2018 18:16 WIB

Cina Khawatir Korut Didekati Barat

Pemimpin Korut akan melakukan pertemuan puncak dengan Presiden Korsel dan AS

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nidia Zuraya
Pertemuan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dengan Presiden Cina Xi Jinping.
Foto: VOA
Pertemuan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dengan Presiden Cina Xi Jinping.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING - Cina dan Korea Utara (Korut) membina aliansi yang penuh dengan darah. Lebih dari 130 ribu pasukan Cina, termasuk putra Mao Zedong, mati membela Korut selama Perang Korea.

Namun hubungan mereka tidak selamanya mudah. Meski Pyongyang bergantung pada Beijing untuk perdagangan dan dukungan diplomatik, para pengamat mengatakan rezim Korut sebenarnya tidak senang memainkan peran sebagai adik kecil Cina.

Saat ini, ketika pemimpin Korut Kim Jong-un siap membuka dirinya di panggung dunia, Beijing mulai khawatir Pyongyang akan keluar dari lingkarannya dan mendekat ke Barat. Kim tengah bersiap untuk melakukan pertemuan puncak dengan Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in dan Presiden AS Donald Trump.

Tekanan ekonomi Cina telah menjadi faktor yang sangat penting dalam membujuk Kim ke meja perundingan. Namun, Beijing juga tampaknya sedikit tidak rela jika Kim menyetujui kesepakatan yang akan membawa Korut lebih dekat ke musuh lama Cina.

"Bahkan ada kekhawatiran Cina bahwa mungkin AS akan menerima Korut sebagai sekutunya, atau setidaknya sebagai negara yang dekat," kata Tong Zhao, seorang ahli kebijakan nuklir di Tsinghua Carnegie Center for Global Policy di Beijing, dikutip CNN.

Kekhawatiran itu diperparah oleh ketegangan hubungan antara Cina dan AS, ketika pemerintahan Trump bentrok dengan Presiden Cina Xi Jinping dalam sektor perdagangan. "Beberapa kekhawatiran sangat ekstrem sehingga hampir terdengar seperti teori konspirasi, tetapi itu mencerminkan kecurigaan Cina yang mendalam tentang AS dan Korut," ujar dia.

Selama lebih dari setengah abad, status quo antara Cina dan Korut telah memisahkan mereka dari pasukan AS di Korsel. Akan tetapi upaya Pyongyang untuk mengembangkan senjata nuklirnya sendiri, telah mengubah keseimbangan itu.

Korut telah meningkatkan momok perlombaan senjata regional di depan pintu Cina. Sehingga menimbulkan risiko tindakan militer preemptif oleh AS dan sekutu-sekutunya, atau konflik lain yang tidak diinginkan.

Senjata nuklir Korut adalah sesuatu yang tidak bisa ditoleransi Beijing. "Cina selalu ingin mempertahankan hubungan yang normal dan stabil dengan Korut. Cina tidak memiliki perselisihan dengan Korut di wilayah ini, masalah apa pun kecuali nuklir," kata Zhao.

"Cina harus menanggapi dengan kuat percepatan pembangunan nuklir Korut. Cina harus bergabung dengan komunitas internasional lainnya untuk menjatuhkan sanksi yang benar-benar berdampak pada Korut," papar dia.

Pada akhir Maret lalu, Kim muncul di Beijing untuk melakukan perjalanan luar negerinya yang pertama sejak mengambil alih kekuasaan tujuh tahun lalu. Kim menunjukkan rasa hormat kepada Cina dengan mencari nasihat dan berkahnya sebelum bertemu Moon dan Trump.

Presiden Xi kemudian seolah mengukuhkan posisinya dengan menunjukkan kepada dunia, Cina masih ada di sisi Korut dan akan tetap menjadi pemain diplomatik utama di Semenanjung Korea.

"Cina tidak suka ada dua Korea dan AS di atas panggung tanpa peran Cina. Keprihatinan utama Beijing adalah ada kemungkinan Cina tidak dapat menggunakan pengaruhnya dan tidak mendapatkan kepentingannya di kawasan itu," kata Duyeon Kim, dari Korean Peninsula Future Forum di Seoul.

Tahun lalu, Cina menandatangani sanksi terberat yang pernah dikeluarkan PBB karena ingin membawa Pyongyang agar masuk ke meja perundingan. Namun Cina sendiri tidak memiliki kepentingan dalam perubahan di rezim Korut.

Beijing khawatir keruntuhan ekonomi dan politik Korut akan mengirim gelombang pengungsi melintasi perbatasan. Hal itu dapat mengarah pada potensi reunifikasi antara Korut dan Korsel, yang bersekutu dengan AS.

Dengan demikian, ketika Korut pekan lalu menyatakan tidak akan lagi menguji senjata nuklir atau rudal, Cina melihat hal itu sebagai kesempatan untuk meringankan sanksi yang menurut beberapa pengamat, akan memulihkan perekonomian.

"Kami percaya semua resolusi harus dilaksanakan secara keseluruhan. Sanksi dan resolusi Korut tidak hanya mencakup sanksi tetapi juga langkah-langkah yang akan mendorong denuklirisasi dan mempromosikan perdamaian dan stabilitas di semenanjung," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Lu Kang, pekan ini.

Gedung Putih menegaskan, AS tidak akan merundingkan konsesi apa pun sampai Pyongyang mengambil langkah konkret menuju pembongkaran program nuklir dan rudalnya. Kampanye tekanan maksimumnya akan terus berlanjut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement