Jumat 04 May 2018 20:22 WIB

Mengganti Puasa Menjelang Ramadhan, Bolehkah?

Umat Islam dibebankan mengganti puasa Ramadhan sebanyak puasa yang ia tinggalkan.

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Ramadhan
Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menurut Syekh Abdul Azis bin Baz, seseorang yang belum menqadha puasa Ramadhan sampai datangnya Ramadhan tahun berikutnya maka ia berdosa.

 

Sya’ban menjadi salah satu bulan yang paling diberkahi menjelang Ramadhan. Umat Islam pun kerap menanti bulan ini bahkan sebelum Rajab tiba. Dalam hadis yang diriwayatkan Anas RA, ia berkata, "Se tiap bulan Rajab tiba, Rasulullah SAW selalu memanjatkan doa. 'Allahum ma barik lanaa fi rajaba wa sya'bana wa ballighna ramad- han.' (Ya Allah berkati kami pada Rajab dan Sya'ban dan antarkan kami sampai Ramadhan)."

 

Beberapa kelompok umat Islam pun berpuasa untuk menghormati Sya'ban, bahkan pertengahannya. Namun, puasa tersebut tidak cuma dilakukan untuk penghormatan. Masih ada yang berpuasa untuk mengganti (qadha) kekalahan pada Ramadhan tahun lalu karena alasan lupa atau uzur yang lain.

 

Secara fikih, orang yang meninggalkan puasa Ramadhan, sengaja atau tidak sengaja, dapat diganti dengan mengqadha. Namun, Rasulullah SAW memperingatkan bahwa tanpa uzur syar'i (yang dibolehkan agama), puasa Ramadhan yang diting- galkan dengan sengaja oleh seorang Muslim, tidak dapat tergantikan walau dia berusaha meng gantinya dengan puasa qadha sepanjang tahun.

 

Hal ini jelas ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, "Barang siapa yang membatalkan puasa Ramadhannya tanpa uzur atau sakit, maka dia tidak bisa menggantinya walau dengan berpuasa sepanjang tahun." (HR Abu Daud, al-Tirmizi, Ibn Majah, Ahmad, dan al-Darimi). Pesan Nabi SAW menunjukkan betapa besar keutamaan puasa Rama dhan. Untuk membayarnya pun harus memenuhi syarat uzur syar'i, seperti dalam perjalanan, sakit berat, hingga haid (bagi wanita).

 

Menurut Syekh Abdul Azis bin Baz, seseorang yang belum mengqadha puasa Ramadhan sampai datangnya Ramadhan tahun berikutnya maka ia berdosa. Kaidah ini berlaku jika ia tidak mengganti puasanya padahal tidak ada alasan syar'i.

 

Jika utangnya tak dibayar lalu bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib bertobat dan memperbanyak istighfar. Meski begitu, kewajibannya untuk mengganti pua sa Ramadhan tidak gugur. Ia tetap dibebankan mengganti puasa Ramadhan sebanyak puasa yang ia tinggalkan.

 

Syekh Abdul Azis menambahkan, selain mengganti puasa, mereka yang belum mengqadha sampai Ramadhan berikutnya juga wajib memberi makan orang fakir. Jumlah makanan yang dibayarkan sebanyak setengah sha atau 1,5 kilogram makanan pokok. Jumlah orang miskin yang diberi makan sebanyak jumlah puasa yang ia tinggalkan. Kewajiban membayar puasa dan memberi makan orang miskin tidak terlepas hanya karena Muslimah tersebut tidak tahu.

 

Hal ini berdasar dari hadis Aisyah RA, "Kami diperintahkan un tuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqa dha shalat." (HR Bukhari dan Muslim).

 

Jika termasuk golongan fakir miskin, ia berkewajiban memberi makan orang fakir miskin otomatis gugur. Ia hanya dibebankan mem- bayar puasa sejumlah hari yang ia tinggalkan. Syekh Abdul Azis bin Baz beralasan, kewajib an memberi makan orang miskin hanya dibeban kan kepada mere ka yang mam pu. Allah SWT ber firman, "Ber takwalah kepada Allah se mam pu kalian." (QS at-Taghabun [64]: 16)

 

Adapun terkait puasa setelah memasuki nisfu Sya'ban atau pertengahan Sya`ban, ulama ber beda pendapat. Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama menjelaskan, sebagian ulama mengharamkan puasa pada pertengahan Sya`ban hingga Ramadhan tiba. Mereka mendasarkan pada, antara lain, ha dis riwayat Abu Dawud beri kut ini, Dari Abu Hurairah RA, Ra sulullah SAW bersabda, `Bila hari mema- suki pertengahan Sya'ban, maka janganlah kalian berpuasa.'

 

Sementara, ulama yang membolehkan puasa pada pertengahan bulan Sya'ban juga bersandar pada hadis riwayat Ummu Sa lamah dan Ibnu Umar RA yang ditahqiq oleh At-Thahawi. Perbe daan pen- dapat dan argumentasi masing- masing ulama ini diang kat oleh Ibnu Rusyd sebagai berikut:

 

Artinya, Adapun mengenai puasa di paruh kedua bulan Sya'ban, para ulama berbeda pendapat. Sekelompok menyatakan, makruh. Sementara, seba- gian lainnya, boleh. Mereka yang menyatakan `makruh' mendasarkan pernyataannya pada hadis Rasulullah SAW, `Tidak ada puasa setelah pertengahan Sya'ban hingga masuk Ramadhan.'

 

Sementara, ulama yang mem- bolehkan berdasar pada hadis yang diriwayatkan Ummu Salamah RA dan Ibnu Umar RA. Menurut Salamah, `Aku belum pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali puasa Sya'ban dan Ramadhan.' Ibnu Umar RA menyatakan, Rasulullah SAW menyam- bung puasa Sya'ban dengan puasa Ramadhan. Hadis ini ditakhrij oleh At-Thahawi, (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid fi Nihayatil Muqtashid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 287).

 

Utang puasa memang harus segera dilunasi. Jika mengqadha puasa ditangguhkan hingga datang Ramadhan berikutnya, seba- gian ulama menilai, yang bersangkutan wajib membayar kafarat. Imam Malik, Imam Syafi'i, hingga Imam Ahmad cenderung pada pendapat ini. Sementara itu, sebagian yang lain seperti Imam Hasan al-Bashri dan Ibrahim An- Nakha'i berpendapat jika dia hanya wajib mengqadha dan ti dak wajib membayar kafarat. Wallahualam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement